Kisruh Pengembangan Hotel Indonesia Masuk DPR

Muchamad Nafi
22 April 2016, 07:00
Hotel Indonesia Menara BCA
ARIEF KAMALUDDIN | KATADATA

Kasus pengembangan kawasan Hotel Indonesia mulai bergerak dari Gedung Bundar, Kejaksaan Agung ke Senayan, Dewan Perwakilan Rakyat. Tiga hari lalu, Dewan melayangkan surat undangan ke Deputi Bidang Usaha Energi, Logistik, Kawasan dan Pariwisata Kementerian Badan Usaha Milik Negara Edwin Hidayat Abdullah.

Ditandatangani atas nama Pimpinan Sekretaris Jenderal DPR, Winantuningtyastiti, undangan tersebut juga ditujukan ke Direktur Utama PT Hotel Indonesia Natour Iswandi Said. Kepada dua orang tersebut, Komisi VI DPR hendak menggelar rapat dengar pendapat terkait pengembangan Hotel Indonesia hasil kerja sama PT Hotel Indonesia Natour dengan PT Grand Idonesia, anak usaha Grup Djarum.

Sayang, Sang terundang yang datang hanya Iswandi. Edwin Hidayat tidak hadir dalam rapat dengar pendapat (RDP) lantaran menemani Presiden Joko Widodo dalam kunjungan ke Eropa sejak Ahad lalu hingga Sabtu depan. “Maka dengan ini RDP kita skors,” kata Ketua Sidang Komisi Azam Azman setelah Iswandi menyelesaikan paparannya, di DPR, Jakarta, Kamis, 21 April 2016. (Baca juga: Bentuk Holding, Menteri Rini Jamin Anak Usaha Tetap Berstatus BUMN).

Kepada anggota Dewan, Iswandi Said mengatakan perjanjian sewa lahan di kawasan Hotel Indonesia bukan diteken olehnya. Yang membuat perjanjian adalah Direktur Utama sebelumnya, Aloysius Moerba Suseto pada Mei 2004 -saat ini menjabat Direktur Utama PT Sarana Menara Nusantara.

Mengingat hal tersebut, Iswandi menyatakan tidak bisa menilai apakah terdapat cacat pada perjanjian tersebut. Ia menekankan tidak melihat dari sudut pandang di mana perjanjian Badan Usaha Milik Negara dengan swasta ini mengandung unsur konspirasi sehingga muncul kekeliruan. Iswandi menyerahkan penilain salah-benar kepada aparat penegak hukum.

Hanya, kata dia, jika perjanjian tersebut ditelisik pada saat ini memang tidak menguntungkan PT Hotel Indonesia Natour (HIN) sebagai pemilik lahan. “HIN tidak mendapatkan benefit yang seimbang, kalau dilihat secara real-nya pada 2016 ini,” kata Iswandi. (Lihat pula: Menteri Rini Putuskan PGN Akan Jadi Anak Usaha Pertamina).

Menurutnya, PT HIN harusnya mendapatkan keuntungan lebih besar dengan penyewaan lahan ini. Dampak ketidakadilan atas kerja sama itu, misalnya, nilai kompensasi yang diterima PT Hotel Indonesia bersifat rata (flat) setiap tahunnya sejak perjanjian diteken. Padahal, dengan melihat kondisi sekarang, terutama sejak adanya pembangunan Grand Indonesia dan Apartemen Kempinski, nilai kompensasi semestinya bisa lebih besar. “Sekarang PT HIN dapat flat Rp 10 atau 11 miliar setiap tahun,” ujar dia.

Menanggapi informasi Iswandi, Wakil Ketua Komisi VI Farid Al Fauzi menyatakan dalam kasus ini terlihat kontrak tersebut hanya menguntungkan satu pihak. “Banyak yang aneh dalam perjanjian ini, banyak kejanggalan,” ujar Farid. Beberapa anggota Dewan yang lain pun menganggap perjanjian itu merugikan negara. Rapat akhirnya ditunda. Alasannya, selain Edwin tidak datang, Iswandi pun tidak membawa dokumen-dokumen secara lengkap yang bisa dijadikan bahan pertimbangan Dewan.

Kasus ini terakhir ditangani Kejaksaan Agung yang menyelidiki dugaan pelanggaran kontrak kerja sama dengn sistem bangun-operasi-dan transfer (build, operatation, transfer) antara PT Hotel Indonesia Natoru dan PT Grand Indonesia. Menurut Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Arminsyah, pelanggaran kontrak kerja ini merugikan negara Rp 1,2 triliun dan terindikasi pidana dalam pembangunan dua gedung yang tidak disebutkan dalam kontrak kerja sama tersebut: Menara BCA dan Apartemen Kempinski.

Selain itu, Menteri Badan Usaha Milik Negara kala itu, Laksamana Sukardi, mengeluarkan surat sewa-menyewa lahan dengan mencantumkan perpanjangan selama 20 tahun sejak masa kontrak habis. PT Grand Indonesia tetap harus memberikan  kompensasi 25 persen terhadap Nilai Jual Objek Pajak. Akan tetapi, PT Grand Indonesia malah membangun dua gedung tersebut dan hanya membayarkan kompensasi berdasarkan NJOP atas tanah saja, adapun bangunnya tidak terhitung.

Langkah Kejaksaan merupakan tindak lanjut dari audit Badan Pemeriksa Keuangan yang kelar pada Desember tahun lalu. Di sana disebutkan kasus ini bermula dari rencana PT Hotel Idonesia Natour memperbaiki belasan hotel yang dimilikinya pada awal 2000-an. Dalam catatan Katadata, ketika itu ada 52 calon investor mendaftar tender. Namun dari puluhan perusahan tadi, hanya delapan yang menyatakan minat. Jumlah ini pun menyusut tinggal lima korporasi yang membeli dokumen pengembangan.

Pada 2003, dari lima perusahan tersebut, hanya proposal PT Cipta Karya Bumi Indah yang masuk ke PT HIN. Anak usaha Grup Djarum itu berminat mengembangkan Hotel Indonesia-Inna Wisata, hotel PT HIN yang berlokasi di Bundaran Indonesia, Jakarta. (Baca juga: Rini Soemarno Tunjuk Deputi BUMN Jadi Wakil Komut Pertamina).

Negosiasi berjalan setahun lebih. Pada Mei 2004 disepakati PT HIN menerima kompensasi Rp 355 miliar untuk kerja sama 30 tahun. Dalam kesepakatan itu pun diputuskan kontrak bisa diperlama 20 tahun dengan kompensasi minimal Rp 400 miliar atau seperempat dari Nilai Jual Objek Pajak ketika perpanjang dilakukan. Lalu didirikanlah PT Grand Indonesia sebagai perusahaan yang mengerjakan proyek.  

Namun audit BPK kemudian menyatakan PT Grand Indonesia menyalahi kontrak build operation transfer tersebut dengan membangun Menara BCA yang memiliki 56 lantai setinggi 230 meter itu. Selain itu, ada pula Apartemen Kempinski yang diisi 263 unit. Menurut BPK, hal ini tidak sesuai dengan dokumen term of reference yang disusun bersama Kementerian BUMN. Selain itu, perpanjangan yang dipercepat, dilakukan pada 2010, juga dianggap berpotensi merugikan negara bila ditinjau dari NJOP pada akhir kontrak pertama.

Kepada majalah Tempo pada awal bulan lalu, Asisstant Manager Public Relation PT Grand Indonesia Dini Widodo menyatakan perusahaannya bertindak sesuai kontrak. Menurut dia, pembangunan Menara BCA dan Apartemen Kempinski tidak melanggar ketentuan. Dia menyitir akta kerjasama yang menyebutkan bahwa di sekitar Hotel Indonesia bisa dibangun gedung dan fasilitas penunjang. “Yang kami lakukan tercantum dalam perjanjian BOT,” kata Dinia.

Pandangan tersebut didukung Konsultan Hukum HIN Arie Hutagalung & Partner. Dalam dokumen yang dimiliki Katadata, mereka menyatakan kata “antara lain” dalam definisi gedung dan fasilitas pendukung, yang tercantum pada Pasal 1.2 perjanjian BOT, membuka kesempatan untuk mendirikan bangunan lainnya di luar yang sudah didefinisikan. Karena itu, dimungkinkan membangun gedung perkantoran di atas tanah objek kerja sama oleh pihak Grand Indonesia.

Apalagi, kata mereka, penambahan jenis bangunan justru menguntungkan PT HIN, karena kerjasama HIN-Grand Indonesia berupa BOT, bukan perjanjian sewa-menyewa. Sehingga, pada akhir masa pengelolaan, PT HIN akan memperoleh aset dengan nilai jauh lebih besar di akhir masa kontrak. Yaitu, mendapatkan lebih banyak bangunan daripada yang diatur dalam perjanjian BOT.

Melihat perkembangan tersebut, DPR berencana meneruskan pembahasan sengkarut ini. Komisi VI akan memanggil kembali sejumlah nara sumber di luar dua tokoh tadi untuk menggelar rapat dengar pendapat lanjutan.

Catatan: Artikel ini telah diperbarui dengan penambahan data-data baru.

Reporter: Miftah Ardhian
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...