Polri Kurung 11 Perwira di Tempat Khusus Terkait Kematian Brigadir J
Anggota Polri yang diduga melanggar kode etik profesi terkait peristiwa kematian Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat atau Brigadir J semakin banyak. Dari sebelumnya terdapat 25 personel, setelah pemeriksaan lebih lanjut jumlahnya bertambah enam sehingga totalnya terdapat 31 polisi.
Dengan penambahan ini, perwira yang berada dalam penempatan khusus juga semakin banyak. Jumlahnya kini menjadi 11 perwira, termasuk di antaranya Inspektur Jenderal Polisi Ferdy Sambo yang penempatan khususnya berada di Mako Brimob.
Selain Ferdy Sambo, perwira lainnya terdiri dari dua jenderal bintang satu, dua Komisaris Besar, tiga Ajun Komisaris Besar Polisi, dua Komisaris Polisi, dan satu Ajun Komisaris Polisi.
"Ini kemungkinan masih bisa bertambah," ujar Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo, dalam konferensi pers di Mabes Polri, Selasa (9/8).
Meski tidak menyebutkan nama-nama perwira yang berada dalam penempatan khusus, Kapolri memastikan mereka diduga melanggar kode etik profesi karena berlaku tidak profesional dalam menangani peristiwa kematian Brigadir Yoshua.
Hal ini menyangkut dugaan menghambat proses penyidikan dengan menghilangkan barang bukti, merekayasa peristiwa, termasuk tindakan tidak profesional pada saat penyerahan jenazah Brigadir Yoshua kepada keluarga di Jambi.
Perbuatan mereka pada akhirnya juga menciptakan beragam kejanggalan pada proses awal pengusutan kematian Brigadir Yoshua. Seperti hilangnya alat bukti rekaman CCTV, termasuk adanya peristiwa saling tembak di antara Brigadir Yoshua dengan Bhayangkara Dua Richard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bharada Eliezer.
"Unsur dugaan ada hal-hal yang ditutup dan direkayasa," terang Kapolri.
Aturan untuk mengurung anggota yang diduga melanggar kode etik pada penempatan khusus, mengacu kepada Peraturan Polri Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Polri. Aturan ini baru diteken Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo pada 14 Juni 2022 lalu.
Pasal 98 Ayat (1) aturan tersebut mengungkap penempatan khusus sebagai sanksi yang dilaksanakan setelah adanya putusan sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP). Selanjutnya pada Ayat (2), dijelaskan perintah pelaksanaan penempatan khusus ini dilakukan oleh penuntut.
Namun pada Ayat (3) menjelaskan adanya kondisi tertentu, di mana penempatan khusus dapat dilaksanakan sebelum pelaksanaan sidang KKEP, syaratnya:
- Keamanan atau keselamatan terduga pelanggar dan masyarakat;
- Perkaranya menjadi atensi masyarakat luas;
- Terduga pelanggar dikhawatirkan melarikan diri; dan/atau
- Mengulangi pelanggaran kembali.
Selanjutnya Ayat (4) menjelaskan mengenai durasi seseorang dapat berada pada tempat khusus, yakni maksimal 30 hari dengan pertimbangan akreditor.
Akibat perbuatan yang diduga dilakukan 31 personel tersebut, proses penanganan kematian Brigadir Yoshua menjadi lambat dan tidak transparan.
Akhirnya Kapolri membentuk Tim Khusus untuk membuat kasus ini menjadi transparan dan terungkap tuntas. Hal ini sesuai dengan perintah Presiden Joko Widodo, yang beberapa kali meminta Polri agar mengungkap kasus secara terang benderang. Sebab Jokowi tak mau kasus ini mencoreng citra polisi dan mengurangi kepercayaan publik.
Sementara terkait kasus pidana dugaan pembunuhan terhadap Brigadir Yoshua, Tim Khusus menyatakan memiliki bukti permulaan yang cukup untuk menetapkan empat orang tersangka. Mereka adalah Ferdy Sambo dan tiga anak buahnya, yaitu Bharada Eliezer, Brigadir Ricky Rizal, dan seorang sopir bernama Kuwat.
Para tersangka diduga melakukan pidana sebagaimana Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana, subsidair Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan, Juncto Pasal 55 dan 56 KUHP tentang persekongkolan.