Napak Tilas Perjalanan Soeharto, dari Kemunculan hingga Kejatuhannya
Sosok Presiden ke-2 Republik Indonesia H.M. Soeharto selalu menarik untuk dibahas. Bagaimana tidak, pria kelahiran 8 Juni 1921 silam ini merupakan salah satu tokoh yang memegang peranan penting dalam perjalanan panjang Indonesia.
Lahir di Kemusuk, Sedayu, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) masa kecil Soeharto dilalui dengan berat. Ia merupakan anak dari pasangan Kertosudiro dan Sukirah. Sang ayah berprofesi sebagai petani, yang juga pembantu lurah.
Perkawinan orang tua Soeharto tidak berlangsung lama. Ketika ia kecil, keduanya bercerai. Soeharto kemudian diasuh oleh Mbah Kromodiryo seorang dukun bayi di Kemusuk. Setelah bercerai, ibu Soeharto menikah lagi dengan Purnama dan mempunyai tujuh anak.
Siapa sangka anak yang lahir di Kemusuk ini, mampu menjulang tinggi dalam dunia kemiliteran dan politik Indonesia. Bahkan hingga menjadi pemimpin terlama Indonesia, yakni 32 tahun.
Sekilas Awal Karir Militer Soeharto
Soeharto memulai karir militer ketika bergabung dengan tentara Hindia Belanda, atau Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger (KNIL). Ia diketahui mengikuti pendidikan militer di Gombong, Jawa Tengah pada 1 Juni 1940. Kemudian, ia melanjutkan pendidikan militernya di sekolah kader KNIL, pada 2 Desember 1940.
Ketika kekuasaan berpindah ke tangan Jepang, Soeharto bergabung dengan pasukan bentukan Jepang, yakni Kyōdo Bōei Giyūgun atau Pembela Tanah Air (PETA).
Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Soeharto secara otomatis masuk dalam jajaran pasukan republik baru. Ia secara resmi menjadi anggota Tentara Keamanan Rakyat (TKR), yang merupakan cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI), pada 5 Oktober 1945.
Pada masa Perang Revolusi Kemerdekaan 1945-1948, Soeharto bertugas sebagai Komandan Brigade Garuda Mataram dengan pangkat Letnan Kolonel (Letkol).
Namanya berkibar saat diberikan tugas memimpin Serangan Umum 1 Maret 1949. Inisiatif akan serangan ini muncul atas saran Sultan Hamengkubuwono IX kepada Panglima Besar Jenderal Soedirman.
Brigade X yang dipimpin Letkol. Soeharto sukses menjalankan serangan dan menduduki Yogyakarta selama enam jam. Serangan yang ia pimpin, mampu membuktikan kepada dunia internasional bahwa Republik Indonesia masih berdiri tegak.
Karirnya semakin melesat, di mana pada 3 Juni 1956, ia diangkat menjadi Kepala Staf Panglima Tentara dan Teritorium IV/Diponegoro di Semarang. Tidak sampai setahun, pada 1 Januari 1957, jabatan Soeharto naik menjadi Panglima Tentara dan Teritorium IV/Diponegoro, dengan pangkat kolonel.
Pada 1 Oktober 1961, Soeharto kemudian menjabat sebagai Panglima Korps Tentara I Cadangan Umum AD (Caduad). Ia juga dipercaya memegang posisi sebagai Panglima Komando Mandala Pembebasan Irian Barat.
Kemudian, ia diangkat sebagai Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad) pada 1 Mei 1963. Posisi ini ia emban hingga 1965.
G30S PKI dan Munculnya Soeharto dalam Belantika Politik Indonesia
Pada dekade 1960-an, politik dan ekonomi Indonesia bisa dikatakan berada dalam kondisi chaos. Operasi Trikora dan Dwikora yang menyita energi dan keuangan negara, inflasi yang naik tak terkendali, korupsi yang merajalela, menjadi kenyataan pahit yang dihadapi masyarakat Indonesia.
Situasi politik semakin muram, kala muncul peristiwa Gerakan 30 September (G30S). Gerakan ini merupakan upaya coup d'état atau kudeta yang dilakukan Partai Komunis Indonesia (PKI) terhadap pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden Soekarno.
Peristiwa G30S PKI tergolong menggegerkan. Sebab, akibat dari upaya kudeta tersebut, enam perwira tinggi dan satu perwira menengah Angkatan Darat (AS) gugur. Di antara enam perwira tinggi tersebut, ada Jenderal Ahmad Yani, yang merupakan Kepala Staf AD.
Sementara, Jenderal A.H. Nasution selaku Kepala Staf Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) lolos dari upaya penculikan dan pembunuhan.
Soeharto selaku Panglima Kostrad segera mengambil alih sementara pucuk pimpinan AD, dan langsung bergerak memberantas upaya pemberontakan. Tidak sampai 24 jam, G30S PKI berhasil dinetralisir oleh AD di bawah komando Soeharto.
Pasca-upaya kudeta tersebut, pamor Soeharto semakin terangkat. Presiden Soekarno kemudian menunjuknya sebagai Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkomkamtib). Gerak Soeharto semakin leluasa kala ia menerima Surat Perintah 11 Maret 1966.
Melalui surat perintah tersebut, Soeharto bergerak cepat memangkas PKI sampai akar-akarnya, dan menancapkan pengaruh dalam dunia perpolitikan Indonesia. Ia bahkan ditetapkan sebagai pejabat presiden berdasarkan Tap MPRS No XXXIII/1967 pada 22 Februari 1967.
Selaku pemegang Ketetapan MPRS No XXX/1967, Soeharto kemudian menerima penyerahan kekuasaan pemerintahan dari Presiden Soekarno. Melalui Sidang Istimewa MPRS, pada 7 Maret 1967, ia ditunjuk sebagai pejabat presiden sampai terpilihnya presiden oleh MPR hasil pemilihan umum.
Kemudian, Soeharto menjadi presiden sesuai hasil Sidang Umum MPRS, dengan dikeluarkannya Tap MPRS No XLIV/MPRS/1968 pada 27 Maret 1968.
Memulai Pemulihan dan Pembangunan Ekonomi
Segera setelah diangkat menjadi Presiden, Soeharto segera menjalankan langkah-langkah pemulihan ekonomi. Langkah pemulihan dilakukan demi menciptakan fondasi pembangunan Indonesia.
Soeharto memutuskan kembali bergabung International Monetary Fund (IMF) pada awal dekade 1960-an. Tujuannya tak lain agar perekonomian Indonesia kembali terintegrasi dengan ekonomi dunia. Ini dilakukan agar Indonesia dapat segera memulai proses industrialisasi, demi menjadi negara dengan perekonomian yang menjanjikan.
Soeharto juga berusaha memerangi hiperinflasi dengan mengandalkan sekelompok teknokrat ekonomi untuk membuat rencana pemulihan ekonomi. Di akhir 1960-an stabilitas harga diciptakan melalui sebuah kebijakan yang melarang pendanaan domestik dalam bentuk hutang domestik ataupun pencetakan uang.
Soeharto memulihkan mekanisme pasar bebas dengan tindakan-tindakan membebaskan kontrol pasar, diikuti dengan implementasi Undang-Undang (UU) Penanaman Modal Asing (1967) dan UU Penanaman Modal Dalam Negeri (1968).
Kedua UU ini mengandung insentif-insentif yang menarik bagi investor untuk berinvestasi di Indonesia, dan berdampak pada pertumbuhan ekonomi lebih dari 10% di tahun 1968. Sampai 1982 pertumbuhan ekonomi tahunan yang cepat di atas minimum 5% dijaga oleh Soeharto.
Bahkan pada masa pemerintahannya Indonesia sempat diuntungkan secara siginifikan dari dua oil boom yang terjadi pada 1973 dan 1978. Berkat dua oil boom ini, pendapatan pemerintah meningkat tajam.
Ini memungkinkan sektor publik untuk memainkan peran yang lebih besar dalam perekonomian dengan melakukan investasi-investasi publik yang penting dalam pembangunan daerah. Termasuk di dalamnya pembangunan sosial, infrastruktur dan pendirian industri dasar skala besar, termasuk industri substitusi impor.
Namun, kemudian terjadi kerusuhan besar saat kunjungan Perdana Menteri Jepang pada 1974, yang dikenal dengan nama Peristiwa Malari. Ini terjjadi karena muncul pandangan bahwa terlalu banyak proyek-proyek investasi asing di Indonesia. Masyarakat Indonesia merasa frustasi karena orang-orang pribumi tampaknya diabaikan dari menikmati buah-buah perekonomian.
Pemerintahan Soeharto merasa terguncang karena kerusuhan ini. Soeharto kemudian memperkenalkan aturan-aturan yang lebih ketat mengenai investasi asing dan menggantinya dengan kebijakan-kebijakan yang memberikan perlakukan khusus yang menguntungkan penduduk pribumi.
Tak lama berselang, pada awal 1980-an, harga minyak mulai jatuh dan reposisi mata uang pada 1985 menambah hutang luar negeri Indonesia. Pemerintah harus melakukan usaha-usaha baru untuk memulihkan stabilitas makroekonomi.
Soeharto merancang ulang perekonomian Indonesia, dari perekonomian yang tergantung kepada minyak kepada sebuah perekonomian yang memiliki sektor swasta yang kompetitif dan berorientsi ekspor. Ini menyebabkan adanya kebijakan deregulasi baru untuk memperbaiki iklim investasi bagi para investor swasta.
Sektor lain yang juga terpengaruh oleh tindakan-tindakan deregulasi yang mendalam adalah sektor keuangan Indonesia. Bank-bank swasta baru diizinkan untuk didirikan, bank-bank yang sudah ada bisa membuka cabang-cabang di seluruh negeri dan bank-bank asing bebas beroperasi di luar Jakarta.
Reformasi finansial ini kemudian akan menjadi masalah yang memperkuat krisis di Indonesia pada akhir 1990-an. Namun, pada masanya tindakan-tindakan ketat ini memiliki dampak positif pada perekonomian Indonesia. Ekspor produk-produk manufaktur mulai menjadi mesin perekonomian Indonesia.
Otonomi Daerah Era Pemerintahan Soeharto
Pada era pemerintahan Orde Baru, semangat otonomi daerah dan perimbangan keuangan seakan terkubur. Melalui Ketetapan MPRS Nomor XXI/MPRS/1966, pemerintahan Orde Baru yang dibentuk Presiden Soeharto menegaskan, bahwa UU 18/1965 harus ditinjau kembali, karena dianggap memberi kekuasaan dan otonomi yang terlalu besar kepada daerah.
Sebagai informasi, UU tentang pokok-pokok pemerintahan daerah ini disahkan pada 1 September 1965. UU 18/1965 ini cukup menarik, karena menjabarkan secara luas sumber-sumber pendapatan daerah, serta kewenangan yang dimiliki daerah dalam urusan keuangan.
Dalam UU 18/1965, juga disebutkan bahwa pemerintah daerah bisa mengajukan pinjaman untuk mendanai pembangunan daerah. Pengajuan pinjaman tersebut dilakukan atas sepengetahuan Menteri Dalam Negeri dan Gubernur, untuk pengajuan pinjaman oleh pemerintah kabupaten/kota.
UU ini juga menempatkan daerah dalam derajat yang tinggi. Ini terlihat dari Pasal 75 UU 18/1965, yang menyebutkan, bahwa pemerintah daerah memegang semua kekuasaan mengenai pengelolaan keuangan daerah.
Aturan mengenai penyelenggaraan pemerintahan daerah di era Orde Baru terwujud dari dikeluarkannya UU Nomor 5 tahun 1974 tentang Pemerintah Daerah. Namun, UU 5/1974 bukan perwujudan otonomi daerah dan perimbangan keuangan yang sejati.
UU ini mengedepankan mantra khas Orde Baru, yakni persatuan dan stabilitas politik, demi mencapai “otonomi daerah yang nyata, dinamis, dan bertanggung jawab”. Meski ada kata-kata "otonomi daerah", namun kendali Presiden Soeharto yang otoriter, membuat UU ini tidak berguna sama sekali.
UU 5/1974 juga tidak dengan tegas memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengelola keuangan daerah. Pemerintah pusat masih memegang kendali dana pembangunan sehingga pemerintah daerah tidak bisa mengaturnya sendiri.
Hal ini terjadi karena paradigma pembangunan Orde Baru menuntut sistem perencanaan yang terpusat. Kemudian menyebabkan penyeragaman sistem organisasi pemerintah daerah dan manajemen proyek yang dikembangkan daerah.
Akibat dari penerapan pendekatan terpusat itu adalah semakin kuatnya ketergantungan daerah kepada pemerintah pusat. Inilah yang menjadi akar dari hubungan pusat-daerah, yang bersifat patronase.
Di sisi lain, institusi-institusi internasional juga menggambarkan performa ekonomi Indonesia sebagai "Macan Asia" dan "High Performing Asian Economy".
Ironisnya, karakteristik Orde Baru yang supresif, ternyata menjadi kunci pengentasan kemiskinan, karena hanya ada sedikit ruang untuk menentang pembuatan dan pelaksanaan kebijakan. Alhasil, gerak pemerintah lebih leluasa dalam menjalankan program-program sosial.
Perlu diingat, pada pertengahan dekade 1960-an, lebih dari 50% penduduk Indonesia diklasifikasikan sebagai kelompok yang hidup di bawah garis kemiskinan. Namun, pada 1993 angka ini berkurang menjadi 13,5% dari jumlah total penduduk.
Indikator-indikator sosial lain, seperti partisipasi di sekolah, angka kematian bayi, dan usia harapan hidup, juga menunjukkan hasil-hasil positif yang serupa.
Meskipun masyarakat frustasi dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme yang tinggi di lingkaran pemerintahan, Pemerintah selalu bisa merujuk pada pembangunan ekonomi yang mengesankan. Di saat yang sama, usaha memberantas korupsi juga dilakukan pada era pemerintahan Soeharto.
Misalnya, pembekuan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai pada 1985, karena praktik-praktik penyelewengan yang sudah kronis. Saat itu, sebagian peran Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dibekukan, dan dialihkan ke lembaga swasta asing, yakni Société Générale de Surveillance (SGS), yang berasal dari Swiss.
Di saat yang sama, dilakukan pembenahan menyeluruh terhadap Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, agar bisa kembali dipercaya menjalankan tugasnya. Butuh kurang lebih 10 tahun hingga kewenangan urusan kepabeanan dan cukai kemudian dikembalikan sepenuhnya kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Krisis Ekonomi Menggoyang Pemerintahan Soeharto
Selama dekade 1990-an, Orde Baru di bawah kendali Soeharto mulai kehilangan kontrol ketika masyarakat Indonesia menjadi semakin asertif. Sejak awal tahun 1993 demonstrasi-demonstrasi menjadi lebih sering terjadi, dan acap kali membuahkan hasil.
Misalnya, sebuah lotere yang disponsori pemerintah terpaksa dihentikan karena demonstrasi oleh para mahasiswa maupun kelompok-kelompok Muslim.
Kemudian, beberapa pejabat yang didukung pemerintah pusat dikalahkan saat pemilihan umum di daerah-daerah. Ini menunjukkan kepada masyarakat, bahwa pemerintahan di bawah Soeharto bukannya tanpa kelemahan.
Namun, di awal-awal 1990-an pemerintahan Soeharto masih kuat. Goyahnya pemerintahan era Soeharto ditandai goyangnya fondasi ekonomi Indonesia kala badai krisis ekonomi melanda pada 1997-1998.
Sejatinya, krisis keuangan ini menerpa hampir seluruh negara di Asia, pada Juli 1997. Krisis ekonomi ini menimbulkan kepanikan, bahkan ekonomi dunia akan runtuh akibat penularan keuangan.
Krisis ini bermula di Thailand seiring jatuhnya nilai mata uang baht setelah pemerintah Thailand terpaksa mengambangkan mata uangnya, karena sedikitnya valuta asing yang dapat mempertahankan jangkarnya ke dolar AS. Saat itu, Thailand menanggung beban utang luar negeri yang besar, hingga dinyatakan bangkrut, bahkan sebelum nilai mata uangnya jatuh.
Saat krisis ini menyebar, nilai mata uang di sebagian besar Asia Tenggara dan Jepang ikut turun. Bursa saham dan nilai aset lainnya jatuh, dan utang swasta naik drastis. Indonesia, Korea Selatan, dan Thailand adalah negara-negara yang terkena dampak krisis terparah.
Pemerintahan Soeharto sendiri menerapkan kebijakan nilai tukar tetap, di mana dolar AS dijaga di rentang Rp 2.000-Rp 2.500. Ini karena Indonesia belum menganut rezim kurs mengambang. Namun, kebijakan menjaga nilai kurs tersebut justru menggerus cadangan devisa Indonesia.
Pada akhirnya, pemerintah mengambil kebijakan kurs mengambang. Kebijakan ini membuat dolar AS mulai merangkak naik ke Rp 4.000 di akhir 1997, dan berlanjut menjadi Rp 6.000 di awal 1998. Sampai akhirnya nilai tukar rupiah anjlok ke level Rp 16.650 per dolar AS. Perekonomian pun kacau balau.
Kondisi perekonomian nasional sejak terjadinya gejolak nilai tukar pertengahan 1997 berubah secara drastis. Pertumbuhan ekonomi yang dibanggakan selama dekade sebelumnya memudar dengan cepat.
Perekonomian nasional terus mengalami kontraksi sebesar 12,59% hingga kuartal II-1998. Pendapatan perkapita merosot tajam sehingga menempatkan Indonesia kembali pada klasifikasi negara "miskin". Laju inflasi melambung tinggi, di mana pada September 1998 telah mencapai 75,47%.
Meski belum mencapai hiperinflasi seperti yang pernah terjadi pada dekade 1960-an, laju inflasi yang tinggi ini menekan daya beli riil masyarakat, khususnya bagi mereka yang berpenghasilan tetap dan masyarakat kecil.
Beberapa pihak berargumen bahwa kinerja yang terjadi tidak dibangun atas dasar struktur yang kuat. Menurut Warr (1998), pertumbuhan ekonomi yang tinggi lebih disebabkan penumpukkan stok modal melalui aliran modal asing, ketimbang peningkatan produktifitas tenaga kerja.
Adanya deregulasi sektor keuangan di akhir dekade 1980-an telah berdampak pada meningkatnya arus modal masuk, khususnya utang swasta. Utang swasta terus mengalami peningkatan, di mana pada akhir 1996 telah mencapai US$ 51,1 miliar.
Pada akhirnya, ekonomi yang dibangun Soeharto selama lebih dari 30 tahun ternyata berdiri di fondasi yang sangat tipis, dan rentan. Nyatanya, perekonomian Indonesia yang dibangun dari utang ini, tidak mampu menghadapi badai krisis. Alhasil, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan Orde Baru makin menipis.
Kejatuhan Pemerintahan Orde Baru
Kondisi perekonomian yang kian parah membuat rakyat Indonesia frustasi, dan menuntut adanya perubahan yang nyata. Demonstrasi terjadi di berbagai kota di Indonesia, terutama di DKI Jakarta, yang merupakan jantung pemerintahan.
Ketidakpuasan rakyat makin menjadi, kala aksi demonstrasi ditanggapi dengan keras oleh aparat keamanan. Salah satu peristiwa yang terkenal, adalah Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998.
Saat itu, aparat keamanan bertindak represif terhadap demonstrasi yang dilakukan mahasiswa. Kejadian ini menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti, serta puluhan lainnya luka.
Kondisi politik makin muram. Ini terlihat dari puluhan ribu tentara yang bersiaga di jantung kekuasaan, mengantisipasi rencana demonstrasi besar-besaran yang akan dilakukan mahasiswa pada 20 Mei 1998. Saat itu, jumlah tentara yang disiagakan untuk mengamankan Ibu Kota mencapai 80.000 personel.
Situasi Jakarta memang sedemikian mencekam, dengan tentara siap siaga di segala tempat. Bahkan, anggota Komando Pasukan Khusus (Kopassus) di Makassar dan Banten telah ditarik ke Jakarta. Bisa dikatakan, sepertiga kekuatan angkatan bersenjata berada di ibu kota.
Meski menghadapi hadangan banyaknya personel yang siap melumat gerakan menuntut reformasi, para mahasiswa tidak gentar dan tetap teguh pada pendirian untuk maju menuntut pengunduran diri Soeharto. Misi mereka hanya satu, menumbangkan kekuasaan rezim yang telah bercokol lebih dari tiga dekade.
Sementara, kondisi internal pemerintahan Soeharto sendiri tidak baik-baik saja. Ia ditinggalkan orang-orang yang sebelumnya setia di sisinya.
Harmoko, mantan Menteri Penerangan, yang saat itu menjabat sebagai Ketua DPR/MPR, meminta Soeharto mengundurkan diri, atau DPR/MPR terpaksa memilih presiden baru. Para menteri di kabinet Soeharto sendiri sudah merasakan tanda bahwa rezim ini bakal kolaps.
Pada 20 Mei, sebanyak 14 menteri bidang ekonomi dan industri berkumpul di gedung Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Mereka bersepakat untuk mundur dari kabinet, dan melayangkan surat pengunduran diri, disertai permintaan agar Soeharto mundur dari kursi kekuasaan.
Kala Soeharto membaca surat pengunduran para menterinya, disertai desakan mundur dari DPR/MPR, serta orang-orang terdekatnya pada 20 Mei 1998 malam, ia akhirnya mengambil keputusan untuk mundur.
Keputusan tersebut diumumkan secara resmi olehnya pada 21 Mei 1998, dan pucuk pimpinan negara diserahkan pada sang wakil, Bacharuddin Jusuf Habibie. Tirai kekuasaan selama 32 tahun telah tertutup, dan Indonesia menatap masa depan yang tidak dibayangi oleh otoritarianisme.
Pasca-lengser, Soeharto sempat diadili dengan tuduhan korupsi dan penyalahgunaan dana-dana yayasan. Ia sendiri bersedia bertanggung jawab atas dana-dana tersebut.
Soeharto wafat pada pukul 13.10 WIB Minggu, 27 Januari 2008, dalam usia 87 tahun setelah dirawat selama 24 hari di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP), Jakarta.
Secara resmi Tim Dokter Kepresidenan menyampaikan siaran pers tentang wafatnya Soeharto tepat pukul 13.10 WIB Minggu, 27 Januari 2008 di RSPP Jakarta akibat kegagalan multi organ.