Kontroversi Penggunaan Wolbachia di Indonesia untuk Perangi DBD

Amelia Yesidora
21 November 2023, 14:55
wolbachia, demam berdarah, nyamuk
ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo/hp.
Petugas menunjukkan sampel nyamuk aedes aegypti yang sudah disuntikkan bakteri Wolbachia saat peluncuran kampanye metode Wolbachia dari World Mosquito Program (WMP) dan Save the Children Indonesia untuk cegah demam berdarah dengue (DBD) di Denpasar, Bali, Selasa (6/6/2023).

Kementerian Kesehatan bakal melepaskan nyamuk dengan bakteri Wolbachia di lima kota di Indonesia untuk  mematikan virus dengue yang ada dalam nyamuk Aedes aegypti. Harapannya, nyamuk dengan bakteri ini akan berkembang biak sehingga bisa memerangi penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD).

Epidemiolog Universitas Gadjah Mada, Riris Andono Ahmad, menyebut metode ini lebih manjur daripada vaksin dan fogging. Dalam penelitiannya yang dilakukan di Yogyakarta pada 2021, angka kasus DBD bisa turun 77% dan kebutuhan rawat inap rumah sakit turun hingga 86%.

“Penurunan angka kasus ini lebih tinggi dari ekspektasi kami yang cuma 50%,” kata Riris dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (20/11).

Kendati demikian, nada penolakan muncul dari berbagai pihak. Mereka meragukan efek jangka panjang dari metode ini, berkaca dari penggunaan Wolbachia di negara lain.

Mantan Menteri Kesehatan

Mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari tidak sepakat dengan rencana pelepasan nyamuk dengan Wolbachia ini. Menurutnya angka kasus DBD di Indonesia masih terkendali. Selain itu, program pemerintah untuk menangani penyakit ini juga dinilai berjalan bagus.

Siti mengingatkan adanya kemungkinan efek samping dalam jangka panjang karena nyamuk dengan Wolbachia ini adalah genetic drive. Artinya adalah pengubahan sistem gen pada populasi makhluk hidup tanpa bantuan tangan manusia.  

“Bagaimana anda bisa megontrol genetic drive? Di Sri Lanka, setelah penyebaran Wolbachia, muncul nyamuk yang lebih ganas,” kata Siti di laman resmi YouTube-nya.

Ia juga menyoroti adanya kematian pada satu anak dan lima anak yang terkena Japanese encephalitis di Kulon Progo bulan ini. Daerah ini sebelumnya diintervensi nyamuk Wolbachia dan penelitiannya berhenti pada 2020.

“Makanya kalau ada program gitu, pemerintah harus transparan dan menjelaskan seluasnya pada masyarakat," katanya.

Pemda Bali

Penjabat (Pj) Gubernur Bali, Sang Made Mahendera Jaya, sudah menunda penyebaran nyamuk dengan bakteri Wolbachia di Bali usai ada penolakan di masyarakat. Sebelumnya sebanyak 200 juta telur nyamuk dengan bakteri Wolbachia akan dilepaskan di Denpasar dan Buleleng pada 13 November 2023. 

“Kami tidak ingin masyarakat terbelah karena ada penolakan, yang pro dan kontra ini harus diperbaiki dulu,” katanya, dikutip dari Antara, Selasa (21/11).

Di sisi lain, Sekretaris Daerah Provinsi Bali, Dewa Made Indra mengapresiasi pemikiran kritis masyarakat Bali. Ia menyoroti belum ada kajian komprehensif terkait penggunaan Wolbachia.

Rencana pemda ini menuai penolakan dari masyarakat sekitar, salah satunya Gladiator Bangsa yang sudah menyebar petisi. Menurut mereka, penyebaran jutaan nyamuk itu berdampak pada pariwisata karena penduduk Bali dan wisatawan harus menerima tambahan gigitan nyamuk.

Belum lagi, seekor nyamuk harus mendapat darah sebelum menghasilkan telur. Padahal setiap nyamuk betina memproduksi 100 telur sebanyak tiga kali selama hidup. 

Kemudian mereka meminta kepastian siapa yang akan bertanggungjawab atas pelepasan nyamuk itu. Mereka pun menemukan adanya peningkatan ancaman DBD di Sri Lanka setelah pelepasan namuk pada 2021. Larva nyamuk hingga kasus DBD meningkat dua kali lipat di negara tersebut.

Reporter: Amelia Yesidora

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...