Hasil Putusan MK di Pilpres 2024: Tolak 6 Dalil, 3 Hakim Beda Pendapat

Ira Guslina Sufa
23 April 2024, 08:49
MK
ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/wpa.
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo (tengah) didampingi Hakim Konstitusi Saldi Isra (kiri) dan Arief Hidayat (kanan) membacakan putusan saat sidang putusan perselisihan hasil Pilpres 2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (22/4/2024).

“Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah menilai dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” ujar Daniel.

Aksi Unjuk Rasa Terkait Hasil Sengketa Pemilu Presiden 2024
Aksi Unjuk Rasa Terkait Hasil Sengketa Pemilu Presiden 2024 (Fauza Syahputra|Katadata)

 

Dalil Prosedur Penyelenggaraan Pemilu

Dalam pertimbangannya MK menilai endorsement atau dukungan yang dilakukan oleh Presiden maupun wakil presiden dalam kontestasi Pemilihan Presiden tak melanggar hukum. Meski begitu tindakan itu dinilai berpotensi timbulkan masalah etika.

Hal itu diungkapkan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Ridwan Mansyur saat sidang pembacaan putusan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2024, pada Senin (22/4). Ridwan mengatakan, dari sisi hukum positif mengenai Pemilu, saat ini pola 'komunikasi pemasaran' juru kampanye yang melekatkan citra dirinya kepada kandidat atau paslon tertentu, bukanlah tindakan yang melanggar hukum.

"Namun, endorsement atau pelekatan citra diri demikian, sebagai bagian dari teknik komunikasi persuasif, potensial menjadi masalah etika manakala dilakukan oleh seorang presiden yang notabene dirinya mewakili entitas negara," kata Ridwan.

Ridwan mengatakan, MK menilai sebagai presiden Joko Widodo seharusnya berpikir, bersikap, dan bertindak netral dalam ajang kontestasi memilih pasangan Presiden dan Wakil Presiden. Hal itu lantaran pilpres dilakukan untuk mencari sosok yang akan menggantikan dirinya sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan.

"Menurut mahkamah, mutlak diperlukan kerelaan presiden petahana untuk menahan atau membatasi diri dari penampilan di muka umum yang dapat diasosiasikan atau dipersepsikan oleh masyarakat sebagai dukungan bagi salah satu kandidat atau paslon dalam pemilu," kata Ridwan.

Ia mengatakan, kesediaan Presiden serta para petahana kepala daerah merupakan faktor utama bagi terjaganya serta meningkatnya kualitas demokrasi Indonesia. Namun demikian, kata Ridwan, kerelaan adalah wilayah moralitas, etis, ataupun fatsun, sehingga posisi yang berlawanan dengannya, yaitu ketidakrelaan. 

Ridwan menyebut MK tidak dapat membawa persoalan etik dengan sanksi hukum kecuali apabila wilayah kerelaan demikian telah terlebih dahulu dikonstruksikan sebagai norma hukum larangan oleh pembentuk undang-undang.

Di sisi lain MK menilai tidak ada nepotisme yang dilakukan Presiden Jokowi untuk putranya, Gibran Rakabuming Raka di pemilihan presiden 2024. Menurut MK, ada perbedaan definisi nepotisme yang didalilkan pihak pemohon dengan yang dibuat Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) selaku pihak terkait.

Hakim Konstitusi Daniel Yusmic Pancastaki Foekh dalam sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) mengatakan menurut pihak terkait hal yang dimaksud nepotisme adalah jika pejabat mengangkat anak/saudaranya (appointed). Sedangkan jika sang anak dipilih rakyat (elected) maka hal demikian tidak termasuk nepotisme.

“Larangan ini tidak boleh dimaknai anak pejabat tidak boleh berkarir,” kata Daniel Yusmic Pancastaki Foekh dalam sidang pembacaan putusan PHPU di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (22/4).

Mahkamah juga menyatakan tidak memperoleh keyakinan atas kebenaran dalil soal nepotisme dilakukan Jokowi lantaran tidak ada penguraian lebih lanjut oleh pemohon. Menurut MK, jabatan wakil presiden yang diperoleh Gibran Rakabuming Raka bukan jabatan yang ditunjuk langsung, namun melalui pemilihan. Mereka menyebut, larangan nepotisme adalah jabatan yang dilakukan dengan ditunjuk langsung.

“Artinya, jabatan yang diisi melalui pemilihan umum tidak dapat dikualifikasi sebagai bentuk nepotisme,” ujar Daniel.

Ia juga menjelaskan MK sudah menghapus ketentuan yang melarang calon kepala daerah punya konflik kepentingan dengan petahana. Ketentuan yang dimaksud adalah pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pemilukada).

“Meskipun putusan tersebut terkait dengan pengisian pencalonan kepala daerah, namun dengan telah dipersamakan antara rezim pemilihan kepala daerah dengan pemilihan umum oleh Mahkamah, relevan untuk dijadikan substansi dalam menjawab dalil pemohon a quo,” kata Daniel lagi. 

Sebelumnya, pihak pemohon mencatut tindakan Jokowi melanggar tiga peraturan. Pertama, Ketetapan MPR No XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Kedua, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (UU 28/1999). Ketiga, Pasal 282 UU Pemilu.

 “Berdasarkan uraian pertimbangan hukum, Mahkamah berpendapat dalil Pemohon mengenai pelanggaran atas Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998, UU 28/1999, dan Pasal 282 UU Pemilu adalah tidak beralasan menurut hukum,” kata Daniel.

Suasana supervisi rekapitulasi suara Pemilu 2024
Suasana supervisi rekapitulasi suara Pemilu 2024 (ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/nym.)

 

MK Tolak Dalil Adanya Kecurangan Sirekap 

Mahkamah Konstitusi telah menolak dalil kubu Anies-Muhaimin terkait perubahan perolehan suara di Sirekap. Namun, hakim MK juga menyarankan Sirekap dikelola dan diaudit oleh pihak swasta untuk menjaga validitas datanya.

Sebelumnya, kubu 01 mengakukan gugatan atas dugaan kecurangan dalam Sirekap. Namun, Mahkamah memutuskan dalil pemohon yakni kubu AMIN terkait Sirekap tidak diterima. "Tidak beralasan menurut hukum," kata Hakim MK Guntur Hamzah dalam sidang PHPU di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (22/4).

Namun, ia berpendapat perubahan data dalam laman Sirekap sudah menimbulkan kegaduhan di masyarakat. Sirekap yang harusnya menjadi sarana informasi terkait Pemilu, justru menimbulkan asumsi yang berkembang liar di masyarakat. 

“Terlebih, keputusan KPU untuk menghentikan sementara Sirekap semakin menambah kesan dan asumsi yang negatif di masyarakat,” kata Guntur.

Guntur mengatakan masalah ini menunjukkan potensi kesalahan dalam penghitungan suara dan berdampak pada hasil pemilu. Maka Sirekap dianggap tidak memenuhi standar yang dibutuhkan untuk sebuah sistem rekapitulasi Pemilu.

Guntur menyayangkan kejadian ini karena Sirekap sudah melalui proses audit oleh Direktorat Direktorat Alih dan Sistem Audit Teknologi Badan Riset dan Inovasi Nasional dan Badan Siber dan Sandi Negara. Kemudian, Sirekap adalah perbaikan dari aplikasi Situng yang dipakai tahun 2019, sehingga harusnya lebih baik.

Oleh sebab itu, ia memberikan pendapat Sirekap perlu dikelola pihak lain di masa depan. "Perlu dibuka kemungkinan pengelolaan Sirekap dilakukan oleh lembaga yang bukan penyelenggara pemilu,” kata 

Sidang putusan sengketa Pilpres 2024
Sidang putusan sengketa Pilpres 2024 (ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/wpa.)

 

Tiga Hakim Beda Pendapat

Putusan yang diambil MK mendapat pendapat berbeda atau dissenting opinion dari tiga hakim yaitu Saldi Isra, Enny Nurbaningsih dan Arief Hidayat. Saldi Isra dalam pembacaan pertimbangannya menyebutkan bahwa terdapat beberapa kekosongan hukum dalam menentukan putusan sesuai dengan dalil yang diajukan oleh pemohon. 

Ia mencontohkan tidak adanya aturan hukum yang jelas mengenai bagaimana seharusnya seorang presiden bertindak dalam memberikan dukungan dalam kontestasi pilpres. Ia menyebut terdapat kemungkinan adanya kamuflase yang dilakukan oleh Presiden antara kepentingan negara dengan kepentingan pribadi. Namun menurut dia tidak ada aturan yang baku untuk memberikan penilaian. 

Meski begitu Saldi mengatakan sebagai hakim ia tidak bisa menutup mata tentang adanya pembagian bansos yang intens digelar menjelang pemilu. Selain itu juga adanya keterlibatan menteri aktif dalam proses kampanye. Ia menyorot tidak dilibatkannya Menteri Sosial Tri Rismaharini dalam pembagian bansos. 

“Terdapat kampanye terselubung dalam kegiatan pembagian bansos,” ujar Saldi. Padahal menurut dia dalam pemberian bansos seharusnya menteri tidak memberikan pesan khusus.  

Hakim Arief dan Enny juga menyatakan pilpres perlu diulang untuk sebagian wilayah. Menurut Arief, amar putusan seharusnya menyatakan batal Keputusan KPU Nomor 360 Tahun 2024 tentang Penetapan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota secara Nasional dalam Pemilu Tahun 2024 tertanggal 20 Maret 2024, sepanjang daerah pemilihan Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dan Sumatera Utara.

Kemudian, dia menilai, Mahkamah seharusnya memerintahkan kepada KPU untuk melaksanakan pemungutan suara ulang di daerah pemilihan yang disebutkan dalam waktu 60 hari terhitung sejak putusan diucapkan. Lebih lanjut, Arief berpendapat Mahkamah seharusnya memerintahkan Bawaslu mengawasi pemungutan suara ulang; memerintahkan Polri dan TNI menjaga keamanan dan keterlibatan dalam proses pemungutan suara ulang secara profesional dan netral.

Adapun hakim Enny meyakini bahwa telah terjadi ketidaknetralan pejabat yang sebagiannya berkelindan dengan pemberian bantuan sosial (bansos) yang terjadi pada beberapa daerah, yaitu Kalimantan Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Utara.

“Maka untuk menjamin terselenggaranya pemilu yang jujur dan adil sebagaimana dijamin oleh UUD 1945, seharusnya Mahkamah memerintahkan untuk dilakukan pemungutan suara ulang untuk beberapa daerah,” ujar Enny.

Halaman:
Reporter: Ade Rosman, Amelia Yesidora
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...