Industri Pakan Ternak Didorong untuk Ekspansi ke Luar Jawa
Kementerian Pertanian mendorong pengusaha dan pemilik industri pakan ternak untuk memperluas jaringan pabriknya ke luar Jawa. Hal itu bisa menjadi salah satu alternatif untuk menekan biaya produksi pakan seiring meningkatnya harga jagung.
Menurut Kementan, terpusatnya pabrik pakan di satu lokasi menyebabkan pabrikan harus menanggung ongkos distribusi dan logistiknya tambahan karena lokasinya yang kurang mendekat ke sentra bahan baku.
Padahal, keterjangauan akses menjadi salah satu cara untuk menekan harga bahan baku, khususnya jagung. “Kami menghidupkan sentra produksi baru tetapi permintaan di daerah masih sedikit,” kata Direktur Jenderal Tanaman Pangan Gatot Irianto di Jakarta, Senin (1/10).
Oleh karenanya, dia meminta supaya industri bergerak untuk mendekati sentra produksi jagung. Selain itu, pembangunan industri yang tersebar akan membuat perkembangan daerah lebih maju dan merata. Kementerian Pertanian juga berjanji untuk peningkatan infrastruktur logistik agar produktivitas industri pakan maupun sentra produksi jagung jadi lebih efisien.
(Baca : Kemendag Naikkan Harga Acuan Telur dan Daging Ayam)
Harga jagung di tingkat petani melonjak sejak Juni 2018. “Tapi harga akan membaik karena akan ada panen raya bulan ini,” ujarnya.
Angka Ramalan Badan Pusat Statistik (BPS) yang diolah Kementerian Pertanian, produksi jagung 2018 sebanyak 30 juta ton dengan luas tanam 5,2 juta hektare. Kebutuhan jagung untuk pakan ternak tahun ini diperkirakan sebanyak 7,76 juta ton.
Sedangkan menurut catatan Kementerian Pertanian, saat ini terdapat 80 pabrik pakan yang tersebar di Indonesia. Rinciannya, sebanyak 56 pabrik ada di Jawa, 15 pabrik di Sumatera, 3 pabrik di Kalimantan, serta hanya 6 pabrik di Sulawesi.
Padahal, sebaran produksi jagung terbanyak berada di Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Jawa, Sumatera Utara, dan Lampung. “Harga yang meningkat di Jawa karena tingginya permintaan sehingga harus lebih tersebar,” kata Gatot.
Sementara itu, Penasihat Gabungan Pengusaha Makanan Ternak (GPMT) Sudirman menjelaskan industri pakan sudah mulai menyebar ke daerah luar Jawa seperti Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, Sumatera Utara, Lampung, dan Sumatera Barat. Penyebaran di Pulau Jawa juga tak terkonsentrasi di Banten dan Jawa Timur.
(Baca : Menko Darmin Sebut Harga Ayam dan Telur Stabil dalam Waktu Tiga Bulan)
Namun, ekspansi pabrik dan penetrasi pasar ke sejumlah lokasi baru menurutnya bukan hal mudah karena harus pula didukung oleh potensi permintaan yang besar. “Pabrik pakan bisa dibangun kalau ada peternakan atau konsumen dan juga pelabuhan,” ujar Sudirman.
Menurutnya, peternak sebagai pengguna utama industri pakan jumlahnya masih minim di luar Jawa. Sementara industri pakan ternak juga dinilai perlu mendekat ke pelabuhan, karena industrinya biasanya masih memerlukan bahan baku lain dari impor seperti buntil kedelai.
Ketua Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia (Pinsar) Singgih Januratmoko juga membenarkan peternak ayam layer dan ayam broiler kesulitan jika harus pindah lokasi peternakan. Sebab, sekitar 60% produksi telur dan ayam diserap di pulau Jawa.
"Kebutuhan ayam dan telur di Pulau Jawa mencapai 2-3 juta ton per hari," kata Singgih.
Di sisi lain, para peternak ayam tradisional umumnya masih berskala industri rumah tangga. Sehingga menurutnya, peternakan akan kesulitan karena modal untuk ekspansi atau berpindah lokasi bisa jadi amat terbatas. "Terlebih, modal untuk mengadakan peternakan cukup besar karena biaya listrik dan ongkos produksi masih tinggi meski berada dekat dengan konsumen," katanya.
Peneliti Institute of Development for Economic and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menjelaskan bahwa pemerintah seharusnya membangun sistem logistik untuk pengankutan produksi pangan dan pertanian. “Bukan hanya transportasi untuk masyarakat,” ujar Bhima.