Amerika hingga Eropa Terancam Resesi, Jumlah Unicorn Baru Anjlok
Jumlah kelahiran unicorn baru di dunia hanya 210 per kuartal II atau turun 20,5% secara tahunan (year on year/yoy), berdasarkan data CB Insights. Ini terjadi di tengah ancaman resesi di sejumlah negara dan tingginya inflasi.
Unicorn merupakan sebutan bagi startup dengan valuasi di atas US$ 1 miliar atau Rp 14 triliun. Sedangkan decacorn lebih dari US$ 10 miliar atau sekitar Rp 140 triliun.
Jumlah kelahiran unicorn di dunia bertambah 125 pada kuartal I. Sedangkan pada kuartal II ada 85 startup jumbo. Maka, totalnya 210.
Tahun lalu, jumlah unicorn baru pada kuartal I 116 dan kuartal II 148. Maka, totalnya 264.
“Kelahiran unicorn baru hanya 85 pada kuartal II atau turun 43% yoy. Jumlahnya terendah dalam enam kuartal terakhir,” demikian dikutip dari laporan CB Insights yang dirilis Selasa (12/7).
Amerika Serikat (AS) dan Eropa menyumbang sebagian besar kelahiran unicorn baru. Jumlahnya masing-masing yakni 49 dan 16 startup jumbo anyar.
Startup jumbo baru dengan valuasi tertinggi yakni bursa kripto yang berbasis di Seychelles, KuCoin. Valuasinya US$ 10 miliar atau berstatus decacorn.
Turunnya jumlah kelahiran unicorn baru secara global sejalan dengan penurunan pendanaan jumbo atau megaround. Volume investasi dengan nilai yang besar ke startup anjlok 31% secara kuartalan (qtoq).
“Penurunan pendanaan megaround ini yang terendah sejak 2020,” demikian dikutip dari laporan.
Investasi besar di Amerika turun 34%. Startup di negara ini menyumbang 51% dari dari semua pendanaan mega-round pada kuartal I.
Amerika memang menjadi salah satu negara yang diperkirakan mengalami resesi ekonomi tahun depan. Perusahaan Pialang Global Nomura Holdings memperkirakan ada tujuh negara yang masuk jurang resesi ekonomi pada 2023, yakni:
- Amerika Serikat
- Zona Eropa
- Inggris
- Jepang
- Korea Selatan
- Australia
- Kanada
Dalam catatan penelitian, Nomura menggarisbawahi beberapa negara ekonomi menengah, termasuk Australia, Kanada, dan Korea Selatan, akan menghadapi masalah utang. Mereka berisiko mengalami resesi lebih dalam dari perkiraan, jika kenaikan suku bunga memicu kegagalan di sektor perumahan.
“Namun jika bank sentral tidak memperketat kebijakan moneter untuk menurunkan inflasi sekarang, akan ada rasa sakit bagi perekonomian karena berpindah ke rezim inflasi tinggi dan terjebak di sana," ujar Kepala Riset Pasar Global, Asia ex-Jepang Rob Subbaraman kepada “Street Signs Asia” CNBC, pekan lalu (6/7).