Penyebab Harga Barang di E-Commerce dan Social Commerce Murah
Pedagang mengeluhkan murahnya harga barang di e-commerce dan social commerce, sehingga sulit bersaing. Peneliti dan pemerintah pun mengungkapkan penyebabnya.
Pemilik toko Vania di Tanah Abang mengatakan, dirinya berjualan online sejak dua bulan lalu. Ia pun menyewa toko khusus jualan online di Pusat Grosir Central Tanah Abang.
“Berjualan di TikTok Shop ramai,” kata pemilik toko Vania kepada Katadata.co.id, pekan lalu (19/9). Oleh karena itu, ia tak sepakat jika pemerintah ingin memblokir TikTok Shop.
Namun ia berharap pemerintah mengatur e-commerce dan social commerce supaya persaingan bisnis lebih adil, terutama terkait harga produk.
“Seharusnya diperketat saja aturannya. Jangan menjual harga barang murah,” kata dia.
Penyebab Harga di Shopee hingga TikTok Murah
Katadata.co.id mencari produk dengan kata kunci atau keyword Indomie di TikTok Shop pada Pukul 14.00 WIB, Senin (25/9). Harga termurah Rp 100. Namun begitu dibuka, harga Rp 100 tidak tersedia.
Meski begitu, harga termurah Rp 2.000 per mi. Ini tetap lebih murah ketimbang membeli secara offline sekitar Rp 2.500 – Rp 3.000 per mi.
Di Shopee, harga termurah yakni Rp 2.100 per mi. Lalu di Tokopedia Rp 2.870 dan Lazada Rp 1.474 per mi.
Konsumen bisa mendapatkan harga lebih murah jika membeli dalam jumlah lebih banyak ataupun saat periode diskon.
Peneliti Institute for Development of Economic Studies atau INDEF Nailul Huda mengatakan promosi memang membuat harga barang yang dibeli di e-commerce seperti Shopee, Tokopedia, Lazada maupun social commerce TikTok, lebih murah ketimbang membeli langsung.
“Saya rasa TikTok tengah ‘bakar uang’ untuk menggaet konsumen,” kata Nailul kepada Katadata.co.id, Senin (25/9). “Siapa yang memberikan promosi lebih besar, maka akan dipilih oleh masyarakat.”
Rincian faktor yang membuat harga produk di e-commerce dan social commerce lebih murah yakni:
- Diskon dari perusahaan
- Biaya distribusi barang lebih murah
- Produsen menjual langsung barangnya ke konsumen secara online. Alhasil, lebih murah dibandingkan yang dijual oleh reseller.
Ia juga menyampaikan, ada beberapa hal yang membuat live streaming pedagang Tanah Abang di platform e-commerce dan social commerce sepi penonton, yakni:
- Penjual Tanah Abang merupakan reseller, yang mencari untung dengan mengenakan harga lebih tinggi ketimbang tingkat produsen. Sementara produsen juga melakukan live streaming, dengan harga lebih murah ketimbang reseller.
- Reseller yang menjual produk impor dari Cina relatif banyak di platform e-commerce dan social commerce. Harga yang dijual lebih murah.
Oleh karena itu, menurutnya pemerintah perlu mengatur masuknya barang impor. Selain itu, bisa meniru cara India mengatur produsen yang ingin berjualan langsung di platform e-commerce dan social commerce.
Hal senada disampaikan oleh Direktur Celios Bhima Yudhistira. Ia memerinci penyebab harga produk di e-commerce dan social commerce lebih murah ketimbang toko offline, di antaranya:
1. Platform memberikan promosi dan diskon
“Bahkan ada penjual sandal diberi diskon 90% terutama untuk menarik pelanggan baru. Ini kasus platform bakar uang,” kata Bhima kepada Katadata.co.id, Senin (25/9).
2. Official store atau produsen langsung menjual ke konsumen, sehingga harga hampir setara dengan biaya produksi
3. Barang impor diduga kuat sebagian mendapatkan subsidi di negara asal
4. Biaya produksi impor lebih murah karena faktor kapasitas produksi, biaya logistik hingga suku bunga yang rendah di negara asal
“Kalau pusat grosir di Tanah Abang sepi, sedangkan di platform online ramai maka diduga kuat barang yang ada di platform digital, khususnya pakaian jadi yakni barang impor,” kata Bhima.
Berdasarkan pantauan Katadata.co.id, beberapa penjual yang berdagang secara live streaming di Shopee mengatakan bahwa produk yang mereka jual merupakan barang impor. Produk yang diimpor mulai dari pakaian jadi, peralatan rumah tangga hingga mainan anak.
Katadata.co.id juga mendapati penjual melakukan live streaming ketika kontainer berisi barang yang akan dijual baru sampai.
Namun pada deskripsi produk, penjual tidak menjelaskan bahwa produk tersebut merupakan barang impor.
Di Instagram, pengguna internet juga dapat menemukan beberapa akun yang memberikan informasi mengenai cara mengimpor barang untuk dijual kembali.
Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki pun menyoroti harga barang yang jauh lebih murah di e-commerce dan social commerce. Ia menilai UMKM Indonesia tak didukung rantai pasok yang mumpuni dan berbasis teknologi.
Padahal seingatnya, Presiden Joko Widodo atau Jokowi sudah lama mengingatkan kementerian dan swasta untuk mengadopsi teknologi seperti kecerdasan buatan alias artificial intelligence (AI) dan Internet of Things (IoT) guna menggenjot produksi.
“Tidak ada yang mewujudkan bagaimana teknologi digital diaplikasikan ke sistem produksi nasional, industri manufaktur, pertanian, agro maritim, kesehatan dan lainnya,” ujar Teten kepada Katadata.co.id, Sabtu (16/9).
Alhasil, produksi nasional kalah dibandingkan produk impor yang lebih murah karena produksinya lebih efisien dan berkualitas.
“Akibatnya transformasi digital di Indonesia tidak melahirkan ekonomi baru, hanya membunuh ekonomi lama. Kue ekonomi tidak bertambah, tapi faktor pembaginya semakin banyak,” Teten menambahkan.
Ia mencontohkan pasar offline seperti Tanah Abang. Pedagang di pasar ini ikut berjualan online, tetapi tetap kalah dengan produk impor. “Hampir 80% penjual di platform online menjual produk impor, terutama dari Cina,” ujar dia.
Terlebih lagi, perekonomian Cina sedang melemah. Ia menduga produksi barang konsumsi yang kelebihan pasokan di Tiongkok, mulai dijual ke ASEAN.
“Indonesia pasarnya besar dan hampir separuh populasi masuk ke e-commerce,” kata Teten. Belum lagi, tarif bea masuk dinilai terlalu murah.
“Babak belur kita,” Teten menambahkan. “Jangankan UMKM, produk industri manufaktur pun tidak bisa bersaing, terutama produk garmen, kosmetik, sepatu olahraga, farmasi dan lainnya.”