Kredit Macet Melonjak Saat Pandemi, Fintech Modalku Perketat Pinjaman
Rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) pada platform Modalku mencapai 1% saat pandemi corona. Perusahaan teknologi finansial pembiayaan (fintech lending) ini pun memperketat penyaluran pinjaman.
Sejak awal tahun, perusahaan telah menyalurkan kredit Rp 4 triliun kepada Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Namun, rasio kredit macet melonjak dibandingkan akhir 2019 yang hanya 0,5%.
"Selama enam bulan terakhir (NPL) pasti naik," kata Co-Founder sekaligus COO Modalku Iwan Kurniawan saat konferensi pers secara virtual, Rabu (28/7).
Kendati begitu, Iwan menilai bahwa besaran NPL 1% tidak terlalu besar. Hal ini mengingat besarannya sama seperti tiga tahun lalu, saat Modalku berdiri.
Namun, perusahaan akan mengantisipasi kenaikan NPL dengan memperketat pemberian pinjaman. Meskipun, pengajuan kredit meningkat dari 1 juta menjadi 2,5 juta saat pandemi virus corona.
"Kami selektif. Kami lihat kondisi (calon) peminjam,” kata Iwan.
Modalku pun berfokus mengincar UMKM yang berjualan online di e-commerce maupun platform seperti Gojek dan Grab. Sebab, perusahaan dapat menganalisis data-data penjualannya, guna mengukur risiko.
Selain itu, layanan e-commerce diminati selama pandemi corona. Hal ini tecermin pada Databoks di bawah ini:
Sejak April lalu, perusahaan juga memberikan restrukturisasi pinjaman untuk meringankan beban para peminjam yang terpukul pandemi Covid-19. Keringanan yang diberikan berupa penyesuaian batasan pinjaman dan perpanjangan tenor. "Penyesuaian ini akan dilakukan kasus per kasus," ujar Co-founder sekaligus CEO Modalku Reynold Wijaya.
Sampai pertengahan Juli lalu, sudah ada sekitar 2% peminjam aktif Modalku yang mengajukan restrukturisasi dan diproses oleh tim. Sebagian besar karena adanya penurunan omzet.
"Dengan asas responsible lending, kami akan terus menjalankan langkah seleksi yang komprehensif, program restrukturisasi, serta mendukung sektor kesehatan," katanya.
Sekadar informasi, total penyaluran pinjaman oleh Modalku mencapai Rp 15 triliun sejak pertama kali berdiri pada 2016. Kredit ini mencakup Indonesia, Malaysia, Singapura dan Vietnam.