Dulu Bisa Raup Rp 11 Juta/Bulan, Driver Ojol Kini Sulit Dapat Orderan

Fahmi Ahmad Burhan
21 Februari 2020, 15:18
Dulu Bisa Raup Rp 11 Juta per Bulan, Pengemudi ojek online Kini Sulit Dapat Orderan
Adi Maulana Ibrahim|Katadata
Ilustrasi, pengemudi ojek online menunggu penumpang di Stasiun Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Senin (17/2/2020).

Di awal kemunculan layanan berbagi tumpangan (ride hailing), pengemudi ojek online bisa meraup hingga Rp 11 juta per bulan. Kini, mereka mengaku kesulitan mendapat orderan, apalagi bonus dari perusahaan seperti Gojek dan Grab.

Muhammad Hidayat (31 tahun) misalnya, bisa meraup pendapatan termasuk bonus Rp 500 ribu per hari pada 2016. Jika dia libur dua hari dalam sepekan, setidaknya ia mendapat Rp 11 juta dalam sebulan.

Kini, mitra pengemudi ojek online Gojek itu mengaku hanya mendapat Rp 300 ribu per hari atau sekitar Rp 6,6 juta per bulan. Penghasilan itu ia peroleh setelah bekerja delapan jam sehari. “Sekarang harus benar-benar ekstra kerja kalau mau penghasilannya tinggi,” kata dia kepada Katadata.co.id, kemarin (20/2).

Sekitar tiga tahun lalu, ia bisa mendapat 20-30 pesanan sehari. Saat ini orderan sulit didapat. Dulu, ia bisa mendapat bonus Rp 200 ribu setiap hari. “Sekarang hanya Rp 50 ribu,” kata dia.

Mitra Gojek lainnya, Dony Setiawan (35 tahun) menjadi driver ojek online sejak 2015. Dulu, ia menerima 25-30 pesanan per hari. “Sekarang susah. Paling dapat 10 atau 12 orderan,” katanya.

Penghasilan dari bonus pun menurun. Pada 2015, tambahan pendapatan bisa mencapai Rp 100 ribu lebih. Kini hanya Rp 50 ribu. (Baca: Rata-rata Penghasilan Mitra Gojek Lebihi Upah Minimum, Ada yang Belum)

Hal serupa dialami Febri (42 tahun). Mitra pengemudi Gojek ini bisa meraup penghasilan Rp 300 ribu per hari pada 2016. Kini, pendapatannya sekitar Rp 100 ribu setiap harinya atau Rp 2,2 juta per bulan.

Ia menduga, penurunan pendapatan terjadi karena jumlah pengemudi ojek online meningkat. Febri pun berharap tarif di Jakarta segera naik. “Pasti tetep ada yang minat naik ojek online juga," katanya.

Selain persoalan jumlah pesanan, mitra pengemudi ojek online Gojek sempat mengeluhkan sistem pemerataan order. Salah satu pengguna Twitter yang mengaku mitra Gojek Ryan mengatakan, sistem baru itu membuat driver harus bekerja lebih lama untuk tutup poin atau mendapat bonus.

Ryan justru lebih setuju dengan sistem sebelumnya yang menerapkan akun prioritas. Untuk masuk akun prioritas, pengemudi harus mau mengambil pesanan sejak pagi dan tidak memilih orderan, serta tak membatalkan pesanan.

(Baca: Gojek & Asosiasi Respons Keluhan Pengemudi Ojol Soal Sistem Order Baru)

Dengan sistem yang disebut Jaeger itu, kata dia, akun prioritas diutamakan dapat pesanan. Namun sistem itu diubah menjadi pemerataan order, karena ada keluhan dari pengemudi yang tidak masuk prioritas.

“Dari akun prioritas, sekarang akunnya down karena sistem pemerataan order,” kata Ryan melalui akun Twitter-nya @ryan_nus, kemarin (20/2). Cuitan itu disertai foto rekan-rekan pengemudi ojek online Gojek lainnya.

Ryan mengatakan, biasanya pengemudi bisa tutup poin selama enam hingga delapan jam. “Sekarang harus bekerja 12 jam. Capek menunggu order,” katanya, pekan lalu (11/2).

Dia bercerita, akunnya bisa mendapat empat pesanan dalam sejam. Tetapi, sejam kemudian pesanan sepi. “Hari ini contohnya, kerja enam jam hanya dapat 11 orderan. Biasanya sudah dapat sekitar 20,” kata dia.

Penurunan pendapatan juga dialami oleh Andi Rizal (38 tahun). Ia menjadi mitra pengemudi ojek online Grab sejak 2016. “Dulu cari 20 orderan mudah. Sekarang, ngos-ngosan,” ujar dia. Maksimal, ia hanya memperoleh 12 pesanan per hari saat ini.

Mitra Grab Agus (27 tahun) juga mengaku pendapatannya turun 50% dibanding 2016. Saat itu, ia bisa mendapat Rp 300 ribu per hari atau sekitar Rp 6,6 juta per bulan. Kini, setelah bekerja dari pagi hingga malam, dia hanya mendapat Rp 160 ribu sehari. Namun, jumlah itu belum termasuk bonus.

(Baca: Pengemudi Ojol Keluhkan Sistem Baru, #GojekKenapa Jadi Topik Populer)

Bonus yang diberikan pun menurun. "Dulu, walaupun Sabtu-Minggu keluar jam 10.00 atau jam 14.00 di luar jam sibuk, tetap banyak berlian. Sekarang cari berlian susah," katanya. Berlian merupakan istilah poin untuk mendapat bonus. Pada 2016, ia bisa mendapat bonus Rp 185 ribu per hari.

Padahal, menurutnya risiko menjadi pengemudi ojek online tinggi. Memang, ia sempat ditawari asuransi oleh Grab. Namun ia tak mengikuti layanan itu, karena merasa prosesnya rumit.

Mitra Grab lainnya, Muhammad Misna (50 tahun) mengaku pendapatannya minimal Rp 250 ribu per hari pada 2016. Kini, penghasilan termasuk bonus hanya sekitar Rp 80 ribu dalam sehari.

Pekerjaan sebagai pengemudi ojek online memang hanya sambilan, yang ia lakukan pada akhir pekan. “Sekarang drastis penurunannya. Yang lain juga bilang begitu," ujar Misna.

Padahal, dalam Riset Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LD FEB UI), rata-rata penghasilan mitra Gojek melebihi upah minimum kabupaten/kota (UMK) pada 2018. Di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) mencapai Rp 4,9 juta per bulan. UMK di wilayah ini sekitar Rp 3,8 juta per bulan.

(Baca: Masih Ada Subsidi, Tarif Penumpang dan Pengemudi Ojek Online Berbeda)

Saat ini, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) tengah mengkaji tarif ojek online. Kementerian telah mengevaluasi tingkat kemampuan konsumen dan menerima masukan dari YLKI.

“Intinya YLKI inginnya tidak naik. Kami tegaskan lagi bahwa tidak akan ada kenaikan tarif ojek online kalau tidak ada peningkatan layanan," ujar Direktur Angkutan Jalan Kemenhub Ahmad Yani mengatakan pihaknya kepada Katadata.co.id, Senin (17/2).

Kini, kementerian menunggu masukan dari Badan Perlindungan Konsumen Nasional. "Hasil survei dan masukan dari berbagai pihak itu kita analisis apakah konsumen mau dengan kenaikan," kata Yani.

Ada dua opsi dari evaluasi tarif ojek online yaitu tetap dan naik. Kemenhub memperkirakan tarif di daerah akan tetap karena khawatir permintaan menurun. Sedangkan di Jabodetabek, tarifnya diprediksi naik karena permintaan masih tinggi.

Namun dalam evaluasi tarif tersebut, Kemenhub mengacu pada kemampuan membayar atau willingnes to pay (WTP) konsumen. (Baca: Kemenhub Keberatan Kerek Tarif Ojek Online jika Layanan Tak Meningkat

Reporter: Fahmi Ahmad Burhan

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...