IPP Berharap Perdagangan Karbon di PLTU Tak Kerek Tarif Listrik
Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia atau APLSI menyambut positif implementasi perdagangan karbon di sektor pembangkit listrik, khususnya pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara, yang mulai berjalan pada akhir Februari 2023.
Ketua Umum APLSI, Arthur Simatupang, mengatakan pihaknya tak ingin terburu-buru mengambil kesimpulan atas pelaksanaan perdagangan karbon yang berpotensi memicu pergerakan pada biaya pokok penyediaan (BPP) listrik, dan pada akhirnya tarif listrik.
Arthur mengatakan, sejumlah perusahaan pembangkit listrik swasta atau Independent Power Producer (IPP) telah bersiap untuk menyambut kebijakan perdagangan karbon. Persiapan tersebut tercermin dari alokasi tambahan investasi pada PLTU milik perusahaan.
Menurut Arthur, para pelaku usaha telah berupaya untuk mengurangi keluaran emisi gas rumah kaca dari hasil pembakaran batu bara di PLTU. Beberapa upaya yang telah dilakukan yakni pengurangan komposisi bahan bakar batu bara dengan biomassa atau co-firing.
Selain itu, perusahaan juga memperbaharui teknologi boiler hingga pemasangan perangkat sistem pemantauan emisi berkelanjutan atau continuous emission monitoring systems (CEMS).
"Dampak ke BPP belum kami hitung, tapi kami justru ada upaya dari sisi operasional dengan mengantisipasi tingkat emisi lebih awal," kata Arthur saat ditemui selepas agenda peluncuran Perdagangan Karbon Subsektor Pembangkit Tenaga Listrik di Kementerian ESDM pada Rabu, (22/02).
Sebagai informasi, boiler adalah peralatan utama pada PLTU yang berfungsi mengubah air dari fasa cair menjadi fasa uap yang memiliki tekanan dan suhu tertentu untuk menggerakan turbin.
Sementara CEMS adalah sistem yang mengukur laju emisi dan konsentrasi gas, partikulat, dan polutan lainnya dalam sumber emisi, cerobong asap pembangkit listrik, proses industri, dan pengolahan limbah.
CEMS merupakan teknologi pengawasan dan pemantauan real-time pada cerobong untuk memastikan emisi dapat dikontrol secara ketat sesuai dengan standar emisi yang diizinkan.
Arthur mengatakan, para pelaku usaha kini tengah berupa untuk menjaga keluaran emisi gas rumah kaca PLTU di bawah batas atas yang telah ditetapkan. Ketetapan teknis batas atas diatur di dalam Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 14 tahun 2023.
Kepmen tersebut merupakan aturan lanjutan dari Peraturan Menteri ESDM Nomor 16 Tahun 2022 yang mengatur sejumlah hal teknis ihwal implementasi perdagangan karbon di sektor pembangkit listrik, satu diantaranya yakni persetujuan teknis batas atas emisi gas rumah kaca pelaku usaha atau PTBAE-PU.
PTBAE-PU adalah penetapan persetujuan teknis batas atas atau kuota emisi gas rumah kaca bagi pelaku usaha pembangkit tenaga listrik dalam kurun waktu tertentu yang dinyatakan dalam ton karbondioksida.
"Kami coba dulu praktik perdagangan karbon ini seperti apa, yang penting dari batas atas itu ketahuan emisi aktual dari masing masing pembangkit mana yang surplus mana yang defisit," ujar Arthur.
Pelaksanaan PTBAE-PU akan dijalankan secara bertahap dalam tiga fase. Fase pertama yang berlangsung sejak 2023 hingga 2024 hanya berlaku pada PLTU batu bara. Kementerian ESDM menetapkan empat kelompok batas emisi pada fase pertama pelaksanaan perdagangan karbon sektor kelistrikan.
Makin besar kapasitas produksi listrik PLTU yang berimplikasi pada makin besarnya volume batu bara yang dibakar, maka batas emisi yang ditetapkan juga semakin ketat.
Kelompok PLTU non mulut tambang dengan kapasitas terpasang di atas 400 megawatt (MW) dikenakan batas emisi paling ketat di angka 0,911 ton CO2e. Kemudian untuk kelompok PLTU non mulut tambang dengan kapasitas terpasang di rentang 100 MW sampai sama dengan 400 MW diputuskan batas emisi sebesar 1,011 ton CO2e per MWh.
Selanjutnya, PTBAE untuk PLTU mulut tambang di atas 100 MW ditetapkan 1,089 CO2e per MWh dan kuota emisi untuk PLTU non mulut tambang maupun yang berada di mulut tambang dengan kapasitas terpasang 25 MW sampai sama dengan 100 MW sejumlah 1,297 ton CO2e per MWh.
Mekanisme perdagangan karbon di sektor pembangkit listrik juga disikapi sebagai peluang bisnis baru bagi para perusahaan penyedia listrik.
Alasannya, pembangkit yang memproduksi emisi gas rumah kaca melebihi kuota yang ditetapkan harus mencari cara untuk menutup selisih tersebut melalui skema offset, trading maupun Verified Carbon Standard (VCS).
"Itu bisa jadi peluang juga karena upaya untuk menurunkan emisi sesuai target dekarbonisasi malah mempunyai nilai yang jelas, ada nilai tambahnya," kata Arthur.
Sebelumnya, Kementerian ESDM resmi meluncurkan mekanisme perdagangan karbon di sektor pembangkit listrik mulai hari ini, Rabu (22/2). Mekanisme ini akan dijalankan oleh 99 PLTU batu bara yang dimiliki oleh 42 perusahaan dengan total kapasitas terpasang 33.569 MW.
Pelaksanaan perdagangan karbon tahun ini wajib berlaku untuk PLTU batu bara yang tersambung ke jaringan tenaga listrik PLN dengan kapasitas lebih besar atau sama dengan 100 MW.
Berdasarkan peta jalan perdagangan karbon subsektor pembangkit tenaga listrik yang telah disusun, pelaksanaan perdagangan karbon berpotensi dapat menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar lebih dari 36 juta ton CO2e di tahun 2030.