Pemerintah Usul Atur Ketentuan Nilai Ekonomi Karbon dalam RUU EBET
Pemerintah melalui Kementerian Energi Sumber Daya dan Mineral (ESDM) mengusulkan adanya ketentuan nilai ekonomi karbon dalam Daftar Inventaris Masalah (DIM) pada Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET).
Menteri ESDM, Arifin Tasrif, mengatakan hal tersebut dilakukan guna meyakinkan kepercayaan para investor energi bersih. Menurut dia, banyaknya dukungan dari investor itu dapat mempercepat capaian Indonesia menuju net zero emission/NZE) pada 2060.
"Mengenai (mekanisme) perdagangan karbon pada Pasal 7B yang tadinya tidak ada dalam DIM sebagai usulan baru dari pemerintah," ujar Arifin pada Rapat Kerja dengan Komisi VII DPR RI di Jakarta, Senin (20/11).
Apabila aturan dalam RUU EBET tersebut telah disepakati, Arifin mengatakan badan usaha dapat memperoleh insentif dari upaya pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK). Hal itu diwujudkan dalam kegiatan pengusahaan energi baru dan energi terbarukan atau kegiatan konservasi energi yang dilakukan oleh badan usaha.
Dia mengatakan, upaya pengurangan emisi GRK tersebut dapat menjadi bagian dari mekanisme perdagangan karbon melalui perdagangan emisi, pengimbangan (offset) emisi GRK, pungutan atas karbon, dan mekanisme lain yang ditetapkan oleh Pemerintah sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
“Kami ingin menambahkan kata mekanisme perdagangan karbon," kata dia.
Arifin menegaskan, mekanisme perdagangan karbon harus mempertimbangkan aturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup. Ketentuan tersebut bakal berlaku serupa bila ada kegiatan investasi pengembangan EBET atau kegiatan konservasi energi yang bersumber dari pendanaan luar negeri dalam kerangka kerja sama antar pemerintah.
“Ini tambahan untuk pelengkap ketentuan nilai ekonomi karbon," ujarnya.
ESDM Tinjau Penerapan TKDN
Sementara itu, Arifin mengatakan bahwa pengembangan EBET yang masif di masa mendatang juga tengah meninjau penerapan konten lokal atau tingkat komponen kandungan dalam negeri (TKDN).
Namun demikian, langkah itu perlu memperhitungkan ketersediaan atau kemampuan produk dan potensi dalam negeri, harga energi baru atau energi terbarukan yang tetap kompetitif, dan pemberian fleksibilitas sesuai sumber pendanaan energi baru/energi terbarukan.
"Ini adalah tambahan kami (pemerintah), mungkin perlu pendalaman lebih lanjut untuk tercapainya kesepakatan," kata dia.
Sebelumnya, pada Pasal 24/39 DIM RUU EBET, badan usaha yang mengusahakan energi baru dan energi terbarukan diharuskan mengutamakan produk dan potensi dalam negeri. Produk dan potensi yang dimaksud meliputi tenaga kerja Indonesia, teknologi dalam negeri, bahan-bahan material dalam negeri, dan komponen dalam negeri lainnya terkait Energi Baru/Energi Terbarukan.
Dalam rancangan regulasi tersebut, pemerintah juga telah memberikan syarat ketat kepada badan usaha untuk melakukan alih ilmu pengetahuan dan teknologi jika ingin berinvestasi energi baru/energi terbarukan di Indonesia. Hal ini bertujuan demi meningkatkan pengembangan sumber daya manusia lokal.
Namun, sebelumnya Arifin telah menyarankan bahwa aturan TKDN dilonggarkan demi mempercepat pengembangan pembangkit energi terbarukan di dalam negeri. Dia mengatakan pembangunan pembangkit listrik energi terbarukan harus terus berjalan, meski perlu menekan penggunaan barang atau jasa domestik.
Menurut dia, pelonggaran aturan TKDN bertujuan untuk mengakomodir kebutuhan investor luar negeri yang membutuhkan pengadaan barang atau jasa sesuai pedoman pengadaan lembaga keuangan internasional selaku pemberi kredit.