80% Produksi Baja RI Gunakan Teknologi yang Hasilkan Emisi GRK Tinggi
Institute for Essential Services Reform (IESR) mencatat industri besi dan baja menghasilkan 20-30 juta ton karbon dioksida per tahun. Jumlah itu setara dengan 4,9 persen emisi industri yang mencapai setara 430 juta ton karbon dioksida pada 2022.
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, mengatakan pemerintah serta pelaku industri besi dan baja perlu melakukan upaya pengurangan emisi demi mencapai usaha yang lebih hijau dan yang berkelanjutan. Salah satunya dengan memperbaharui teknologi proses produksi besi dan baja.
Saat ini, 80 persen produksi besi dan baja di Indonesia masih diproduksi dengan teknologi tanur tinggi atau blast furnace yang bahan bakarnya didominasi oleh penggunaan batubara dan kokas. Kokas adalah bahan karbon padat yang berasal dari distilasi batubara rendah abu dan rendah sulfur.
Fabby mengatakan, penurunan emisi industri besi dan baja akan semakin sulit di masa depan, jika penggunaan teknologi blast furnace dalam produksi besi dan baja nasional semakin banyak. Untuk itu, dekarbonisasi industri baja menjadi krusial dilakukan untuk memastikan rantai pasok teknologi menjadi rendah karbon.
“Dekarbonisasi bisa dilakukan melalui peningkatan efisiensi energi dengan beralih ke teknologi ramah lingkungan, penggunaan energi terbarukan serta optimalisasi dari penggunaan baja daur ulang (scrap),” ujar Fabby dalam acara Webinar Mempercepat Transformasi Industri Baja di Indonesia dan Asia Tenggara yang diselenggarakan oleh IESR dan Agora Industry secara daring, Rabu (20/3).
Fabby mengatakan, dekarbonisasi sektor industri besi dan baja juga sangat mendesak, terutama untuk ekspor. Pasalnya sejumlah negara maju tujuan ekspor Indonesia sudah menerapkan aturan produk rendah emisi dan penetapan batas karbon untuk ekspor.
Senior Analis IESR, Farid Wijaya, mengatakan dekarbonisasi industri besi dan baja ini dapat mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia dan melindungi rantai pasokan dalam negeri dan ekonomi masa depan. Dekarbonisasi juga meningkatkan daya saing ekspor untuk pasar global yang semakin sadar akan praktik ramah lingkungan.
Ia mengatakan, upaya melakukan dekarbonisasi industri perlu dibarengi dengan membangun ekosistem industri hijau, penyediaan energi hijau, dan teknologi rendah karbon.
“Diperlukan pula adanya peta jalan oleh masing-masing industri dan asosiasi, yang saat ini masih terbatas pada beberapa sektor dan belum menjadi sebuah regulasi yang bisa dijadikan landasan aksi dekarbonisasi untuk pelaku industri dan asosiasi,” kata Farid.
Analis Pengembangan Infrastruktur, Pusat Industri Hijau, Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Fausan Arif Darmadi, mengatakan, pihaknya telah meluncurkan standar industri hijau (SIH) yang memuat ketentuan mengenai bahan baku, bahan penolong, energi, proses produksi, produk, manajemen pengusahaan, dan pengelolaan limbah. Selain itu, terdapat juga Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) No. 12 Tahun 2023 tentang batasan penggunaan energi, air, dan batasan emisi gas rumah kaca (GRK) untuk baja lapis.
Dengan regulasi tersebut, diharapkan dapat menjadi pedoman bagi perusahaan untuk menjalankan proses produksi yang efisien dan ramah lingkungan. Sementara untuk panduan lengkap terkait perhitungan nilai ekonomi karbon sedang dalam proses pengembangan
“Untuk itu, Kemenperin telah memberikan pelatihan perhitungan emisi gas rumah kaca bagi sektor baja, termasuk perhitungan nilai ekonomi karbonnya. ,” kata Fausan.