Pola Produksi dan Konsumsi Jadi Kunci Hadapi Dampak Bencana Iklim

Image title
6 Juni 2024, 07:27
Direktur Jendral Pengendalian Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Laksmi Dhewanthi mengatakan, perubahan pola produksi dan konsumsi menjadi salah satu cara untuk menghadapi dampak akibat bencana iklim.
Youtube KLHK
Direktur Jendral Pengendalian Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Laksmi Dhewanthi mengatakan, perubahan pola produksi dan konsumsi menjadi salah satu cara untuk menghadapi dampak akibat bencana iklim.
Button AI Summarize

Direktur Jendral Pengendalian Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Laksmi Dhewanthi mengatakan, perubahan pola produksi dan konsumsi menjadi salah satu cara untuk menghadapi dampak akibat bencana iklim. Masyarakat harus beralih kepada pola produksi dan konsumsi yang berkelanjutan. 

"Sebetulnya kata kuncinya adalah di perilaku kita, di bagaimana kita merubah gaya-gaya kita melakukan produksi dan konsumsi. Jadi, changing unsustainable production and consumption itu merupakan salah satu prasyarat," ujar Laksmi dalam dialog Hari Lingkungan Hidup Sedunia di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jakarta, Rabu (5/6). 

Laksmi menyebut, perubahan pola tersebut untuk menjawab tiga hal yang akan menjadi bencana berdasarkan konfrensi lingkungan hidup di Rio De Janiero pada tahun 1992.

Tiga agenda penting pada saat itu, pertama adalah mengurangi kerusakan atau kehilangan keanekaragaman hayati yang kemudian keluar menjadi Convention on Biological Diversity.

Kedua, masyarakat harus segera mengatasi dampak-dampak atau mengantisipasi terjadinya perubahan iklim yang kemudian diatur melalui United Nations Framework Convention on Climate Change. 

Ketiga adalah degradasi lahan dan desertifikasi menjadi ancaman, sehingga masyarakat dunia harus melakukan aksi secara global. Hal ini diatur melalui Convention on Combating Desertification.

"Tiga isu itu yang sekarang menjadi topik tema Hari Lingkungan Hidup Sedunia dan juga menjadi bagian dari Triple Planetary Crisis, " ujarnya. 

Laksmi mengatakan, peringatan yang dikeluarkan pada 30 tahun lalu sudah dirasakan dampaknya pada saat ini. "Kalau 30 tahun yang lalu sudah dilakukan, sudah dimulai komitmennya sampai saat ini menjadi tantangan, maka pesan utamanya adalah ternyata kita belum cukup melakukan upaya-upaya untuk bisa menjawab tantangan tersebut. Iklim memang selalu berubah karena ada variabilitas iklim," ucapnya. 

Menurutnya, perubahan iklim terjadi lebih cepat karena banyak aksi, kegiatan, dan perbuatan manusia yang kemudian memberikan beban tambahan kepada lingkungan. Alhasil, dampaknya menjadi lebih berat lagi.

Jika masyarakat dunia tidak melakukan apapun, pada akhir abad ini suhu rata-rata permukaan Bumi diperkirakan naik lebih dari 2 derajat Celcius. 

"Padahal kita tahu naik setengah derajat Celcius saja sudah banyak komunitas-komunitas, ekosistem-ekosistem, makhluk hidup yang rentan itu sudah akan musnah. Perubahan pola hujan misalnya sudah terjadi. Kenaikan permukaan air laut saat ini tercatat setiap tahunnya itu naik 0,6 sampai 1,2 cm per tahun," paparnya. 

Laksmi mencontohkan, jika hal itu terjadi maka daerah-daerah yang tadinya pesisir mungkin akan tenggelam. Sedangkan untuk daerah yang tadinya jauh dari pantai mungkin akan menjadi di pinggir pantai karena air lautnya semakin meningkat. 

$Kalau itu tidak bisa ditangani atau tidak kita antisipasi maka akhirnya keanekaragaman hayatnya akan punah. Kalau keanekaragaman hayat dipunah maka modal dasarnya untuk sumber pangan, papan, tandang, panganpapan itu pasti tidak akan ada. Jadi cerita pembangunan berkelanjutan tidak akan terjadi kalau kita tidak bisa menjawab tantangan-tantangan yang disebutkan tadi," ucapnya

Reporter: Djati Waluyo

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...