Pengembangan B50 Butuh Perluasan Lahan Sawit Lebih dari Dua Kali Lipat
Rencana Presiden Prabowo untuk mengimplementasikan program biodiesel dengan komposisi 50% atau B50 dinilai bertentangan dengan cita-cita transisi energi untuk menurunkan emisi. Policy Strategist CERAH, Sartika Nur Shalati, mengatakan pengembangan biodiesel 50% atau B50 dibutuhkan perluasan lahan sawit hingga 2,5-3 kali lipat dari saat ini yang telah mencapai 16 juta hektare.
“Swasembada energi memang penting, tapi jika mengorbankan hutan melalui konversi lahan menjadi kebun sawit monokultur, menjadi kurang tepat. Jangan sampai kita menyelesaikan satu masalah, tapi justru menimbulkan masalah baru yang lebih kompleks,” ujar Sartika dalam keterangan tertulis yang diterima, Selasa (7/1).
Selain biodiesel, rencana perluasan lahan sawit juga erat kaitannya dengan co-firing biomassa dari produk sawit di PLTU. Perluasan lahan sawit dan pemanfaatannya sebagai bahan baku co-firing biomassa di PLTU, justru akan menghambat akselerasi transisi energi.
Sartika mengatakan langkah tersebut dapat memperpanjang pemanfaatan batu bara pada PLTU yang seharusnya segera dipensiunkan. Hal ini bertolak belakang dengan pernyataan Presiden Prabowo pada agenda G20 di Brazil terkait rencana penutupan PLTU dalam 15 tahun ke depan.
Manajer Kampanye Bioenergi Trend Asia, Amalya Reza Oktaviani, mengatakan kebijakan energi Indonesia yang mendorong bioenergi turut berkontribusi pada perluasan lahan sawit.
“Emisi dari pembukaan hutan belum lagi ditambah emisi dari pembakaran sawit, baik sebagai biofuel di transportasi maupun biomassa di kelistrikan, akan memperparah krisis iklim," ujar Amalya.
Menurut dia, pemerintah perlu meninjau kembali kebijakan bioenergi, terutama dari bahan baku sawit dan kayu. Dalam Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Kebijakan Energi Nasional (RPP KEN), Indonesia mendorong pemanfaatan bioenergi sebagai energi terbarukan utama hingga 2040. Kemudian, dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Iklim COP29, Indonesia juga menyatakan akan meningkatkan campuran biodiesel hingga 50% (B50).
Implementasi B50 Mulai 2026
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Bahlil Lahadalia, mengatakan pemerintah akan meningkatkan mandatori biodiesel menjadi berbasis sawit 50% atau B50. Implementasi B50 tersebut ditargetkan mulai 2026.
"Kalau ini berjalan baik, atas arahan Presiden Prabowo, kita akan mendorong implementasi B50 pada 2026 dan kalau ini kita lakukan, maka impor kita terhadap solar, Insya Allah dipastikan sudah tidak ada lagi di tahun 2026," ujarnya dikutip dari keterangan tertulis, Senin (6/1).
Bahlil mengatakan, program mandatori biodiesel merupakan bagian dari Perintah Presiden Prabowo untuk meningkatakan ketahanan energi dan mengurangi impor. Biodiesel merupakan bahan bakar soal dengan campuran minyak kelapa sawit. Semakin besar komposisi minyak sawit, maka solar yang digunakan semakin sedikit.
Dia mengatakan, pemerintah telah menetapkan penerapan bahan bakar minyak (BBM) jenis solar dengan campuran bahan bakar nabati biodiesel berbasis minyak sawit sebesar 40 persen atau B40 mulai 1 Januari 2025.