Ambisi Minim Pengurangan Emisi Karbon RI Usai 5 Tahun Perjanjian Paris

Image title
14 Desember 2020, 20:11
emisi karbon, perubahan iklim, perjanjian paris, kesepakatan paris, target emisi karbon
123rf.com/Feodora Chiosea
Ilustrasi. Perjanjian Paris telah berusia lima tahun. Target pengurangan emisi Indonesia dinilai tak ambius dalam upaya pecegahan perubahan iklim.

Sebagian besar lahan tersebut berada di hutan gambut. Pembakarannya memicu pelepasan karbon dioksida sangat tinggi ke atmosfer bumi. Alih-alih mengurangi emisi dari bahan bakar fosil, malah menimbulkan masalah baru. “Indonesia berada di jalur yang salah untuk mengatasi krisis iklim,” kata Tata. 

RI bahkan tidak muncul dalam daftar pembicara pada acara peringatan lima tahun Perjanjian Paris, Climate Ambition Summit, kemarin. Tata mengatakan, hal tersebut menunjukkan negara ini tertinggal dalam kebijakan menangani perubahan iklim.

Perlu upaya lebih besar untuk dapat berkontribusi lebih dalam upaya mengatasi perubahan iklim. Transisi dari fosil, terutama batu bara, ke energi baru terbarukan (EBT) harus ditingkatkan, sambil menghentikan deforestasi. Berikutnya, pemerintah harus menyusun kebijakan ekonomi baru yang memiliki tujuan lingkungan. “Jika tidak, sektor perekonomian utama, seperti pertanian, akan terdampak krisis iklim,” ujarnya. 

Pemerintah berencana memenuhi penurunan target emisi dari kehutanan 17%, energi 11%, dan sisanya berasal dari sektor lain sebesar masing-masing 1%. Khusus untuk energi, target baurannya akan mencapai 23% pada 2025 dan 25% di 2030.

Dari target itu, yang terpenuhi sekarang baru sekitar 9,14%. Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Surya Darma berpendapat sangat berat untuk mencapai sisanya dalam waktu lima tahun. 

Banyak faktor yang menyebabkan pengembangan energi terbarukan tidak berjalan sesuai harapan. Kepastian regulasi menjadi isu utama. Padahal, investor membutuhkannya untuk menentukan keekonomian proyek. “Kami mengusulkan payung hukum lebih pasti, yaitu Undang-Undang Energi Terbarukan,” kata Surya.

Selain itu, pemanfaatan energi terbarukan sebaiknya tidak melulu soal pemberian subsidi atau tidak. Namun, lebih banyak kepada perlakukan yang sama dengan energi fosil alias kesamaan level of playing field. “Jadi tidak boleh ada diskrimasi perlakuan, harus ada kesamaan" ungkapnya.

Direktur eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menilai perlu keinginan politik untuk mengatasi perubahan iklim. Komitmen Indonesia saat ini tidak kuat. Contohnya, soal kewajiban pemakaian bahan bakar minyak beroktan tinggi yang sampai sekarang tidak berjalan. Belum lagi target bauran energi yang tidak akan tercapai.

Pengembangan batu bara dan sawit yang masif masih terjadi. Deforestasi diperkirakan menjadi tak terelakkan. "Pengesahan undang-undang energi tebarukan saya kira harus disegerakan. Tanpa adanya kepastian, investasi di sektor itu tidak akan berkembang signifikan," ungkapnya.

Belum lagi persiapan Indonesia untuk menuju transisi energi. Kendaraan listrik ke depan akan semakin berkembang, tapi  sumber energi Indonesia masih berasal dari energi primer yang kotor seperti batu bara.

KUALITAS UDARA DI JAKARTA
Ilustrasi polusi udara Jakarta.  (ANTARA FOTO/Galih Pradipta)

Perkembangan 5 Tahun Setelah Perjanjian Paris

Dilansir dari Climate Watch Data, Tiongkok menempati negara penyumbang pangsa emisi terbesar di dunia, yakni mencapai 23,45%. Posisi kedua adalah Amerika Serikat, dengan total 11,82%.

Berikutnya India dengan total sebesar 6,56%, Uni Eropa mencapai 6,41%, Rusia 4,84%, Indonesia dengan total 4,52%. Ketujuh ditempati Brazil dengan 2,79%, kedelapan oleh Jepang dengan total 2,56%, kesembilan oleh Iran dengan total 1,76% dan kesepuluh ditempati Kanada dengan total 1,58%.

World Resources Institute dalam situsnya menyebut dalam lima tahun terakhir belum ada tanda perbaikan iklim yang signikan. Namun, ada 6 tanda-tanda dunia menuju ke arah yang benar.

Pertama, lebih dari seribu perusahaan global berjanji untuk menurunkan emisi karbon dalam kegiatan operasionalnya. Sebanyak 340 perusahaan tersebut menargetkan menjadi nirkarbon. Termasuk dalam daftar ini adalah Chanel, Nike, Nestle, IKEA, dan H&M. 

Kedua, banyak kota mulai memperbaiki kehidupannya. Data PBB menunjukkan lebih dari setengah penduduk dunia hidup di kota dan bakal naik menjadi dua per tiga pada 2050. Kota-kota harus siap dengan kondisi ini. 

Lebih dari 400 kota telah berjanji menjadi tanpa emisi pada 2050. Termasuk di dalamnya Paris, Prancis, dan Shenzhen, Tiongkok. Fokusnya adalah mengganti pembangkit listrik dan bahan bakar di sektor transportasi menjadi ramah lingkungan.  

Ketiga, banyak institusi keuangan tak lagi mendanai proyek bahan bakar fosil. Korea Selatan merupakan contoh nyata. Setelah krisis ekonomi 2008-2009, negara ini berinvestasi lebih banyak pada proyek hijau. Hasilnya, Negeri Ginseng mampu pulih dengan cepat dibandingkan negara maju lainnya. 

Uni Eropa saat ini unggul dalam hal investasi hijau. Sekitar 30% dari paket stimulusnya pada 2021 sampai 2027 untuk pencegahan perubahan iklim. Nilainya sekitar US$ 891 miliar. 

Keempat, perkembangan teknologi membuat energi terbarukan semakin mudah diakses. Sepanjang 2010 hingga 2019, tenaga surya untuk pembangkit listrik harganya turun 90%. Angkanya bahkan sudah lebih murah dibandingkan bahan bakar fosil. Kondisi ini diperkirakan akan membuat pemakaian energi hijau meningkat.

Kelima, gerakan sosial untuk mengatasi perubahan iklim meningkat. Kemunculan Greta Thunberg, memunculkan aktivis lingkungan berusia muda lainnya.

Terakhir, banyak negara mulai mempercepat program mengatasi perubahan iklim. Para eksekutif bisnis, bankir, inovator teknologi, dan kaum muda sudah banyak berbicara soal ini. Mereka meinginkan tindakan global lebih besar untuk mencegah pemanasan global.

Tahun ini, beberapa kekuatan ekonomi Asia, seperti Korea Selatan dan Jepang, sudah berkomitmen menjadi netral karbon pada 2050. Tiongkok akan mewujudkannya di 2060. Semua tujuan ini murni aspiratif apabila tidak tercermin dalam tindakan ambisius. Sejauh ini, menurut World Resources Institute, baru 15 negara telah melakukan penurunan emisi karbon. Masih banyak yang belum sejalan dengan kesepakatan dalam Perjanjian Paris. 

Halaman:
Reporter: Verda Nano Setiawan
Editor: Sorta Tobing
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...