Rencana Pertamina Genjot Energi Bersih dengan Bahan Bakar Hijau
- Kilang Cilacap akan mulai memproduksi green diesel D100 pada akhir Desember 2021.
- Pertamina juga terus melakukan kajian untuk memastikan kepastian pasokan CPO.
- Gaikindo meminta Pertamina mengirimkan detail spesifikasi produk D100 yang sedang dikembangkan.
Upaya Pertamina menggenjot energi bersih terus dilakukan. Salah satunya melalui produksi bahan bakar nabati (BBN) di Pertamina Refinery Unit (RU) IV Cilacap, Jawa Tengah
Nantinya, kilang itu akan menghasilkan green diesel yang 100% terbuat dari minyak kelapa sawit (CPO). Nama bahan bakarnya adalah D100, dengan target produksi pada akhir Desember 2021. Pertamina juga akan memproduksi green avtur pada kilang serupa pada 2022.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan D100 menghasilkan bahan bakar beroktan tinggi dibandingkan BBN sebelumnya. Namun, apabila produksinya masih kecil, ongkosnya menjadi lebih tinggi.
Pertamina berniat menggenjot produksi agar lebih ekonomis. Untuk menuju ke tahap ini, kilang perlu penyesuaian parameter. Misalnya, katalis untuk mengembangkan D100. Proses produksinya memakai teknologi refined (pengolahan), bleached (pemutihan), dan deodorized (penghilangan bau) minyak sawit alias RBDPO.
Arifin menyebut Indonesia termasuk yang terdepan dalam pemakaian CPO untuk BBN. Malaysia sampai sekarang baru mencampur 20% fatty acid methyl ester (FAME) minyak sawit ke bahan bakar minyak (BBM) solar. Sedangkan negara ini sudah menuju B40 alias mencampur 40% FAME ke BBM.
Pemerintah sedang melakukan evaluasi agar sumber bahan baku utama produk tersebut dapat terus tersedia. Selama ini sebagian besar CPO untuk produk ekspor. “Dengan pemanfaatan BBN, sebagian bisa untuk ekspor dan sisanya untuk energi,” ujarnya dalam acara Katadata Future Energy Tech and Innovation Forum 2021, Senin (8/3).
Sebagai informasi, uji coba D100 telah berjalan pada Januari 2021 dengan komposisi RBDPO sebesar 100%. Untuk green avtur memakai teknologi refined, bleached, dan deodorized minyak inti kelapa sawit (palm kernel oil) alias RBDPKO. Uji coba bahan bakar pesawat ini sudah dilakukan di laboratorium Garuda Maintenance Facility.
Produksi dua bahan bakar itu akan dilaksanakan dalam dua tahap. Tahap pertama, pengolahan RDBPO sebesar 3 ribu barel per hari untuk menghasilkan D100. Rencana produksinya pada akhir Desember 2021.
Selanjutnya, pada tahap kedua Kilang Cilacap akan mengolah CPO sebesar 6 ribu barel per hari untuk menghasilkan D100 dan green avtur. Target onstream-nya adalah pada akhir Desember 2022.
Pengembangan Green Diesel Sejak 2014
Vice President Business Development PT Kilang Pertamina Internasional (Subholding Refining & Petrochemical) Diandoro Arifin mengatakan pengembangan green diesel sudah dimulai sejak 2014 silam.
Pada saat itu, uji cobanya berlangsung di Kilang Dumai, Riau. “Injeksinya ketika itu adalah 7,5% RBDPO,” Katanya.
Empat tahun kemudian, Pertamina melakukan uji coba co-processing di Kilang Plaju, Sumatera Selatan. Campuran minyak sawitnya sekitar 15% hingga 20%.
Pada Maret 2019, perusahaan kembali melakukan uji coba green diesel pada Kilang Dumai dengan menggenjot injeksinya dari 7,5% ke 12,5%. Di Juli 2020, Pertamina memakai 100% RBDPO pada kilang tersebut.
Untuk rencana ke depan, perusahaan akan memiliki tiga kilang yang dapat memproduksi bahan bakar ramah lingkungan. Fase pertama adalah standalone biorefinery Cilacap dengan kapasitas 3 ribu barel per hari RBDPO.
Fase kedua, peningkatan kapasitas Kilang Cilacap menjadi 6 ribu barel per hari dan memakai bahan baku 100% minyak kelapa sawit. Terakhir, pada 2024 Pertamina akan membangun standalone biorefinery Plaju berkapasitas 20 ribu barel per hari.
Corporate Secretary Sub holding Refining & Petrochemical (PT Kilang Pertamina International) Ifki Sukarya mengatakan pihaknya terus melakukan kajian. Salah satunya bekerja sama dengan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) terkait pengembangan biodiesel.
Kerja sama itu terutama untuk memastikan kebutuhan minyak sawit mentah. "Terkait CPO, kami sedang melakukan kajian terintegrasi hulu-hilir bersama PTPN" kata Ifki.
Harga CPO Jadi Tantangan
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa berpendapat produksi green diesel dan green avtur dapat mengurangi ketergantungan impor BBM. Namun, yang perlu diperhatikan adalah keekonomian bahan bakunya.
Mantan anggota tim reformasi tata kelola minyak dan gas bumi (migas) Fahmy Radhi mengatakan, produksi BBN dapat memanfaatkan produk sawit dalam negeri yang melimpah. Dalam waktu bersamaan, proyek ini dapat mendongkrak harga sawit yang sedang terpuruk. “Tidak dibutuhkan kebijakan spesifik. Hanya komitmen dan keseriusan Pertamina,” ujarnya.
Rencana mengembangkan kilang hijau dapat meningkatkan pemakaian energi baru terbarukan (EBT). Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menyebut Pertamina perlu memperhatikan pengembangan teknologi katalisnya agar lebih cepat dan efisien.
Katalis merupakan bahan kimia yang digunakan untuk pengolahan minyak. Pertamina sebelumnya telah mengembangkan Katalis Merah Putih bekerja sama dengan Institut Teknologi Bandung (ITB).
Yang tak kalah penting pula adalah harga minyak sawit mentah. "Jangan sampai nanti justru harga CPO semakin mahal dan akan memberatkan Pertamina untuk memproduksi biofuels," ujar Mamit.
Sebelumnya, Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Surya Dharma mengatakan minyak sawit merupakan komoditas ekspor unggulan Indonesia. Sebagian besar produknya masuk ke India, Italia, dan negara lainnya. Ekspor tersebut menyumbang besar ke devisa negara.
Di sisi lain, pemerintah juga mendorong implementasi biodiesel untuk menurunkan impor BBM. Semua kondisi itu berpotensi meningkatkan produksi CPO dalam negeri. Yang menjadi kekhawatiran banyak pihak adalah pemanfaatan minyak sawit yang berlebih dapat berdampak buruk bagi lingkungan.
Surya menyebut perlu data dan kajian tepat terkait batas penggunaan FAME pada campuran solar. “Supaya tidak perlu penambahan wilayah perluasan kebun dan untuk keseimbangan kawasan hutan alam,” ujarnya.
Beberapa waktu lalu, Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) juga meminta Pertamina mengirimkan detail spesifikasi produk green diesel atau D100 yang saat ini tengah dikembangkan. Hal ini untuk memastikan produk tersebut aman digunakan pada kendaraan bermotor.
Ketua I Gaikindo Jongkie Sugiarto mengatakan langkah tersebut guna menghindari terjadinya masalah pada kendaraan di kemudian hari, seperti endapan pada pipa yang dapat merusak mesin. "Kami akan mintakan (spesifikasinya) untuk kemudian disampaikan ke para agen pemegang merek (APM)," katanya.
Setelah spesfikasi bahan bakar ramah lingkungan itu dikirimkan ke produsen, langkah berikutnya adalah uji coba kendaraan yang diproduksi di Indonesia. "Jika diperlukan ada modifikasi mesin dan lain sebagainya untuk penyesuaian,” katanya.
Pertamina telah melakukan uji performa (road test) penggunaan D100 dalam campuran bahan bakar kendaraan. Hasilnya, performa kendaraan meningkat dan emisi gas buang berkurang.
Pengembangan green energy merupakan implementasi proyek strategis nasional (PSN). Pemerintah berharap potensi sumber energi baru terbarukan akan termanfaatkan maksimal. Dalam hal ini adalah minyak kelapa sawit.