Cofiring PLTU PLN Dinilai Kurangi Beban APBN Untuk Transisi Energi RI

Image title
11 Desember 2021, 10:41
transisi energi, cofiring pltu, pln, apbn
ANTARA FOTO/Jojon/wsj.
Foto udara area Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di wilayah Tanjung Tiram, Kecamatan Moramo Utara, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, Jumat (10/9/2021).

Dewan Energi Nasional (DEN) menilai program cofiring atau pencampuran biomassa dengan batu bara pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) PLN sudah tepat untuk mendukung transisi energi dari fosil ke energi baru terbarukan (EBT).

Progam ini diyakini tak akan memberatkan APBN dalam upaya transisi energi Indonesia. Anggota DEN Satya Widya Yudha mengatakan, transisi energi fosil ke EBT tanpa mengandalkan APBN bukan hal yang mudah, apalagi kondisinya saat ini tengah terjadi kelebihan pasokan listrik.

"Kita harus mensiasati sedemikian rupa. Karena PLN bilang over supply. Lalu ada RUPTL yang sudah menunjukan arah kalau kita lebih hijau," kata Satya dalam keterangan tertulis, dikutip Sabtu (11/12).

Menurut dia situasi dilematis sektor kelistrikan ini harus segera disiasati. Pasalnya, pemerintah ingin menggenjot pemanfaatan EBT tanpa membebani APBN, namun saat ini harga listrik dari pembangkit berbasis EBT sebagian besar belum kompetitif dibanding batu bara.

Pembangkit listrik yang harganya saat ini mampu bersaing dengan PLTU hanyalah PLTS, namun kapasitas pembangkit yang memanfaatkan energi sinar matahari tersebut sangat kecil dibandingkan kemampuan PLTU.

"Begitu kita kurangi fosilnya diganti dengan renewable energy dengan harga hari ini, dimana yang paling murah adalah PLTS. Hidro masih bisa berkompetisi, tapi tidak semua bisa rendah, PLTP juga seperti itu," ujarnya.

Sehingga, dia menilai program cofiring merupakan salah satu siasat yang tepat untuk meningkatkan porsi EBT dan mengurangi emisi karbon. Apalagi RI memiliki target net zero emission pada 2060. "Itu bisa kurangi emisi karbon sehingga cita-cita kita di 2060 tetap jalan," kata Satya.

Di sisi lain, saat ini Indonesia sebagai negara berkembang juga belum mencapai puncak emisi. Adapun berdasarkan perhitungan DEN dengan prediksi pertumbuhan ekonomi 6%, Indonesia baru keluar dari golongan negara dengan pendapatan sedang ke tinggi pada 2043.

Pada saat itu, baru emisi Indonesia berada di titik puncak. Sektor yang menjadi penyumbang besar pun bukan energi tetapi manufaktur dan jasa.

EVP Perencanaan Sistem Ketenagalistrikan PLN, Edwin Nugraha Putra mengatakan, PLN telah memiliki sejumlah inisiatif untuk mengejar target porsi EBT sebesar 23% dalam bauran energi nasional pada 2025, khususnya tanpa membebani APBN di tengah kelebihan pasokan listrik.

Salah satu inisiatif tersebut yaitu mempercepat pengoperasian pembangkit berbasis EBT yang masuk dalam program kelistrikan 35.000 megawatt (MW). "Seperti PLTP ada 1,4 GW kemudian hidro 4,9 GW. Itu kami percepat prosesnya, sehingga diharapkan pada 2025 bisa beroperasi," kata Edwin.

Inisiatif berikutnya adalah menerapkan penggantian batu bara sebagai bahan bakar pada PLTU dengan biomassa (co-firing). Sehingga biomassa menempati 3 sampai 6% dalam porsi EBT pada 2025. "Kami berharap 2025 nanti sekitar 10-20% batu bara digantikan biomassa, sehingga 3-6% bauran EBT pada 2025 berasal dari biomassa," imbuhnya.

Inisiatif ketiga yakni menggantikan pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) yang tidak tersambung dengan sistem kelistrikan skala besar di wilayah terpencil dengan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). PLN juga akan menggunakan PLTS dengan total kapasitas 3-4 GW dan pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) 600 MW.

"Ini hal utama yang kami lakukan dengan kondisi over supply dengan memanfaatkan yang ada supaya bauran EBT tercapai," ujarnya.

Menurut Edwin, dengan inisiatif tersebut PLN dapat berhemat dari sisi pengeluaran belanja modal (Capex) untuk mengejar target porsi EBT sebesar 23% dalam bauran energi pada 2025. "Dengan memanfaatkan aset yang ada, kami berharap Capex tidak tinggi dan Opex bisa dioptimalkan," kata Edwin.

Pengamat Ekonomi Energi Fahmy Radhi menyarankan pemerintah harus berhitung cermat dalam menerapkan kebijakan transisi energi fosil ke EBT. Pasalnya, untuk merealisasikan rencana tersebut banyak tantangan yang harus dihadapi.

Misalnya seperti, kondisi kelistrikan Indonesia yang saat ini 65% adalah PLTU yang menggunakan batu bara dan harga jual listriknya paling murah. Sementara harga listrik dari pembangkit berbasis EBT mayoritas masih mahal.

"Kalau harus 100% itu berat terutama dari sisi pembiayaan. Tidak bisa sepenuhnya dibebankan ke PLN, harus ada investor lain dalam bentuk IPP untuk masuk ke EBT," ujarnya.

Reporter: Verda Nano Setiawan

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...