Bahlil Protes Perbedaan Nilai Karbon Negara Maju dan Berkembang di WEF
Pemerintah Indonesia mendiskusikan standar ganda yang ditetapkan negara maju terkait nilai karbon. Diskusi tersebut berlangsung di World Economic Forum (WEF) 2022 di Davos, Swiss.
Menteri Investasi Bahlil Lahadalia mengatakan, negara maju sering menerapkan standar ganda kepada negara berkembang. Salah satu standar ganda tersebut adalah dalam menyikapi kebijakan Indonesia yang melarang ekspor bijih nikel.
Kebijakan tersebut bertujuan untuk membangun hilirisasi industri domestik dengan menggunakan energi baru terbarukan (EBT), termasuk diantaranya nikel untuk kendaraan listrik.
"Apa yang terjadi? Negara lain memprotes itu, padahal produk akhirnya akan kita ekspor ke dunia," kata Bahlil dalam konferensi pers virtual, Selasa (24/5).
Standar ganda berikutnya adalah sikap dunia internasional, terhadap industri minyak sawit mentah (CPO) nasional. Uni Eropa sebelumnya telah melarang produk CPO Indonesia untuk masuk ke wilayahnya. Namun saat Indonesia memberlakukan larangan ekspor CPO, Bahlil mengatakan, negara-negara di Eropa malah meminta agar kebijakan tersebut dicabut.
"Baru 3 minggu (ada larangan ekspor CPO) dunia gempar dan minta untuk dibuka. Jadi, saya katakan jangan pakai standar ganda," kata Bahlil.
Di samping itu, Bahlil mengatakan, nilai karbon di negara maju dihargai US$ 100 per ton, sedangkan di negara berkembang seperti Indonesia hanya US$ 10 per ton. Selain itu, dasar penghitungan nilai karbon antara negara mau dan berkembang dibedakan.
Bahlil mengatakan, negara maju menyumbang karbon lebih besar lantaran kondisi alamnya yang tidak terlalu bagus. Namun demikian, nilai penghijauan kembali yang dilakukan di negara berkembang dan negara maju berbeda.