Kemampuan Sawit Menyerap CO2 Tak Sebanding dengan Emisi yang Dihasilkan

Image title
10 Januari 2025, 16:37
Dampak Positif dan Negatif Perkebunan Kelapa Sawit
Unsplash
Dampak Positif dan Negatif Perkebunan Kelapa Sawit
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Rencana Presiden Prabowo Subianto, untuk memperluas lahan perkebunan kelapa sawit dengan merambah hutan diprediksi bakal meningkatkan emisi gas rumah kaca di Indonesia. 

 Direktur Eksekutif Sawit Watch, Achmad Surambo, mengatakan tanaman sawit dengan usia 25 tahun mampu menyerap karbon sebesar 39,94 karbondioksida (CO2) per tahun atau setara dengan 146,58 ton CO2 equivalent (CO2e). Namun, aktivitas perkebunan sawit justru menghasilkan emisi karbon, baik yang berasal dari operasional perkebunan sawit maupun ketika perubahan simpanan karbon. Surambo mengatakan, alih fungsi lahan menjadi sawit dapat menyebabkan emisi gas rumah kaca (GRK) yang berbeda pada setiap karakteristik lahan. 

"Jika terjadi pada lahan yang merupakan padang rumput. Pada hutan di tanah mineral serta. Pada hutan di lahan gambut," ujar Surambo dalam keterangan tertulis yang diterima, Jumat (10/1). 

 Ia mengatakan, hasil maksimum emisi yang dihasilkan sawit dalam menggantikan hutan di lahan padang rumput sebesar -59 ton CO2-eq dan nilai minimum sebesar -115 ton CO2-eq. Sedangkan hasil maksimum emisi yang dihasilkan sawit menggantikan hutan di lahan padang rumput sebesar -59 ton CO2-eq dan nilai minimum sebesar -115 ton CO2-eq.  

 Sementara itu, hasil maksimum emisi yang dihasilkan sawit menggantikan hutan di lahan mineral sebesar 835 ton CO2-eq dan nilai minimum sebesar 175 ton CO2-eq. Hasil maksimum sawit dalam menggantikan hutan di lahan gambut sebesar 1835 ton CO2-eq dan nilai minimum sebesar 1175 ton C02-eq.  

 Lanjutnya, data tersebut menunjukkan adanya ketimpangan antara emisi dengan simpanan karbon, atau telah terjadi tekor artinya yang keluar emisi CO2 dibandingkan yang diserap. Di mana, simpanan tersebut tidak sebanding dengan emisi yang dihasilkan dari alihfungsi lahan, terutama pada hutan di tanah mineral dan gambut. 

 "Alih fungsi lahan gambut memiliki dampak terburuk, dengan emisi karbon yang sangat tinggi hingga 1.835 ton CO2-eq. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun tanaman sawit memiliki potensi dalam penyerapan karbon, kontribusi ini tidak cukup untuk menutupi emisi yang dihasilkan, khususnya dari alih fungsi lahan,” ujarnya. 

Surambo mnegatakan, lahan gambut menjadi contoh yang paling rentan, konversi tersebut menghasilkan emisi yang tinggi. Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan mitigasi yang serius untuk menekan dampak alih fungsi lahan, terutama pada lahan gambut dan hutan di tanah mineral sehingga emisi yang dihasilkan dapat dikontrol untuk menekankan proses-proses pengelolaan secara berkelanjutan. 

 Selain itu, perlu mempertimbangkan kebijakan perkebunan sawit, terutama untuk mencegah kerusakan dan fluktuasi simpanan karbon. Ia mengatakan, data ini memperjelas posisi dimana sebaiknya tanaman sawit tidak ditanam di lahan gambut untuk mendukung penyelamatan bumi dan memprioritaskan kelestarian lingkungan dengan menghindari penanaman sawit di lahan gambut yang berpotensi meningkatkan emisi Gas Rumah Kaca.  

 "Ambisi perluasan sawit dengan mengabaikan deforestasi adalah salah besar. Kemampuan sawit dalam menyerap karbon tak sebanding dengan emisi karbon yang dihasilkan ketika alihfungsi terjadi, " ucapnya. 

 Surambo melanjutkan, pemerintah harus mempertimbangkan secara matang rencana untuk memperluas perkebunan kelapa sawit. Pasalnya memperluas sawit atau ekstensifikasi hanya akan berdampak pada deforestasi yang lebih besar dan resiko yang lebih tinggi

Reporter: Djati Waluyo

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...