Menelaah Dampak Quiet Quitting dan Cara Mencegahnya

Annisa Fianni Sisma
19 Oktober 2022, 23:34
Quiet Quitting
Freepik
Ilustrasi, sekelompok karyawan tengah berdiskusi.

Sejak muncul pada pertengahan 2022, istilah quiet quitting masih menghiasi berbagai platform, mulai dari media sosial, hingga media massa, baik nasional maupun internasional.

Istilah ini, mengacu pada sifat atau tindakan seseorang, utamanya karyawan suatu perusahaan, untuk melakukan persyaratan minimum dan tidak menghabiskan lebih banyak waktu, tenaga, atau antusiasme daripada yang benar-benar diperlukan.

Quiet quitting tidak berarti bahwa seseorang benar-benar berhenti dari pekerjaan. Melainkan hanya melakukan apa yang diperlukan dan kemudian melanjutkan hidup. Tujuannya, untuk mencapai lebih banyak keseimbangan antara kehidupan pribadi dan pekerjaan.

Sifat quiet quitting ini menimbulkan sejumlah dampak, yang jika tidak disikapi secara serius, dapat merusak keseimbangan di tempat kerja. Hal ini, pada akhirnya akan berdampak terhadap kinerja perusahaan secara keseluruhan.

Apa saja dampak yang mungkin timbul dari sikap quiet quitting ini, dan bagaimana cara mencegahnya? Simak ulasan berikut ini.

Dampak Quiet Quitting

Pada awalnya, quiet quitting tidak mendapatkan perhatian yang serius, dan beberapa pihak bahkan paham apa yang dirasakan seseorang yang mengambil tindakan ini. Banyak orang yang memahami, apabila seorang karyawan mengalami kelelahan, maka ia berhak untuk tidak memforsir diri, dan mengambil lebih banyak waktu untuk kesehatan mental.

Namun, saat ini beberapa di dunia kerja mulai jenuh dengan budaya quiet quitting ini. Mengutip entrepreneur.com, survei yang dilakukan LLC.org menunjukkan, bahwa banyak karyawan yang menganggap quiet quitting yang dilakukan rekannya, sebagai hal yang menjengkelkan.

Survei yang dilakukan terhadap 1005 karyawan di Amerika Serikat (AS) tersebut, melaporkan sebanyak 62% responden menganggap tren ini sangat mengganggu. Kemudian, sebanyak 57% responden mengatakan mereka terbebani tren ini, karena harus melakukan lebih banyak pekerjaan. Ini terjadi, karena rekan kerja memutuskan untuk bekerja seminimal mungkin.

Orang yang mengikuti quiet quitting cenderung mementingkan diri sendiri, dan mengabaikan kerja sama. Ini akhirnya menyebabkan gesekan dengan rekan kerja, yang berdedikasi dalam kerja tim dan misi perusahaan. Sikap ini dapat menyebabkan perpecahan di antara tim, dan masalah dengan satu karyawan dapat dengan cepat menjadi masalah bagi semua karyawan.

Anggota tim yang berdedikasi mungkin merasa ditinggalkan, yang pada akhirnya akan memicu sikap pasif-agresif, atau bahkan konfrontasi langsung.

Dampak lain yang tidak disadari oleh seseorang yang mengambil sikap quiet quitting, adalah sikap tersebut menjadi hal yang destruktif bagi diri mereka sendiri.

Sebab, mengambil tantangan dan tanggung jawab baru, menjadi hal yang sangat penting untuk pertumbuhan karir. Namun, karyawan yang menolak untuk memperluas wawasan mereka dan mengambil tugas baru, artinya merusak prospek karir jangka panjang mereka. Kemunduran ini lebih dari sekadar mengecewakan atasan, dan tidak mendapatkan promosi.

Dengan menolak pengalaman dan peluang baru di tempat kerja, karyawan dapat menyabot pertumbuhan pribadi mereka, dan memberikan kesempatan untuk membuat diri mereka lebih berharga dalam industri.

Bagaimana Cara Mencegah Quiet Quitting Terjadi?

Dengan mempertimbangkan dampak negatif yang terjadi karena sikap quiet quitting ini, maka timbulnya sifat ini harus dicegah. Pencegahan munculnya quiet quitting ini, harus dilakukan oleh kedua belah pihak, yakni pihak manajemen (atasan), serta dari dalam diri karyawan.

1. Cara Manajemen Mencegah Munculnya Quiet Quitting

Ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk mencegah quiet quitting terjadi, demi menjaga moral di lingkungan kerja. Beberapa cara yang dimaksud, adalah sebagai berikut:

  • Mengatur Beban Kerja Jangka Pendek

Terus bekerja di luar kapasitas maksimal akan menimbulkan efek negatif dalam jangka panjang. Karyawan membutuhkan hari libur untuk beristirahat dan melepaskan diri secara mental, serta waktu pribadi untuk terhubung dengan orang yang dicintai.

Sebagian besar karyawan tidak menentang untuk bekerja ekstra sesekali. Namun, ketika kesediaan ini disalahgunakan, dan bantuan yang diberikan diterjemahkan menjadi norma, maka masalah muncul.

Jika manajer meminta karyawan untuk meningkatkan dan memikul tanggung jawab ekstra, patut dipahami bahwa ini akan mengubah perjanjian operasi. Peningkatan beban kerja harus bersifat jangka pendek, dan idealnya opsional. Jika karyawan harus memikul tugas baru ini tanpa batas waktu, maka beban kerja baru tersebut harus diikuti dengan insentif tambahan.

  • Memberikan Kompensasi Secara Adil

Gaji adalah salah satu penyebab utama timbulnya quiet quitting. Masalahnya, belum tentu bahwa karyawan tidak mau melakukan pekerjaan ekstra, tetapi mereka merasa imbalan yang didapat sebanding dengan usaha ekstra tersebut.

Ada kalanya manajer menjanjikan kompensasi yang tidak pernah terjadi, atau lebih buruk lagi, menolak untuk mengakui pekerjaan tambahan atau berbicara tentang kompensasi.

Sangat penting untuk tetap membayar kompetitif dengan harga pasar dan standar hidup saat ini, serta untuk meningkatkan kompensasi sebagai tanggapan atas upaya atau hasil yang luar biasa. Patut diingat, bahwa kompensasi dapat berupa non-moneter dan berbentuk pengakuan, tunjangan, manfaat, dan fleksibilitas.

  • Mendengarkan Pendapat Karyawan

Quiet quitting tidak dimulai tanpa sinyal jelas. Seringkali, karyawan mengungkapkan kekhawatirannya, namun atasan gagal memperbaiki atau mengabaikannya.

Anggota tim yang merasa atasan tidak menyadari atau apatis terhadap masalah mereka, dapat mengambil tindakan dengan tidak bertindak sama sekali. Lebih buruk lagi, para karyawan ini kehilangan kepercayaan pada pemimpin mereka.

Mendengarkan karyawan dan memvalidasi perasaan, serta pengalaman mereka, bisa sangat membantu mencegah anggota tim untuk melakukan quiet quitting.

Empati adalah alat yang ampuh dalam memerangi quiet quitting. Ketika karyawan merasa bahwa atasan tidak memahami mereka dan memikirkan kepentingan terbaik mereka, maka karyawan cenderung tidak mengambil tindakan sendiri dan menghilang dengan cara quiet quitting.

Pertemuan dan percakapan rutin dengan karyawan adalah awal yang baik untuk strategi ini, dan berlatih mendengarkan secara aktif akan membuat metode ini menjadi lebih efektif.

  • Menetapkan Batasan yang Jelas

Quiet quitting memungkinkan karyawan untuk menetapkan batasan, dan mencegah rekan kerja atau manajer untuk melangkahi dan mengganggu waktu pribadi. Sebelum karyawan menggunakan reaksi ekstrem ini, manajer dapat memperkuat batasan tersebut.

Beberapa cara yang bisa dilakukan, antara lain menekankan bahwa menjawab panggilan atau email setelah jam kerja adalah hal yang opsional, kecuali jika benar-benar mendesak. Hal ini diikuti dengan mengembangkan cara untuk menandai pesan sebagai mendesak, dan menentukan pedoman tentang apa yang merupakan keadaan darurat setelah jam kerja yang tepat.

Lalu, memberi reward kepada karyawan yang bersedia lembur, dengan mengizinkan mereka pulang lebih awal di hari lain. Selain itu, menciptakan sistem pengaduan yang aman, agar karyawan dapat berkeluh-kesah mengenai rekan kerja yang terlalu menekan.

  • Mengakui Kinerja Karyawan

Ketika pekerjaan tidak diperhatikan dan tidak dipuji, karyawan merasa mereka bisa berhenti tanpa kepemimpinan yang bijaksana atau peduli, dan mereka sering benar. Dengan kata lain, karyawan berpikir, "jika tidak ada yang peduli, mengapa mencoba?"

Dengan mengakui dan memberikan penghargaan kepada karyawan untuk pekerjaan yang menonjol, manajer menunjukkan kepada seluruh tim, bahwa apa yang mereka lakukan penting bagi organisasi. Selain itu, karyawan yang menerima visibilitas dan pengakuan cenderung tidak mengambil langkah quiet quitting.

  • Memantau Perubahan Suasana Hati dan Perilaku Karyawan

Seringkali orang yang mengambil sikap quiet quitting, umumnya bukanlah orang yang berkinerja buruk, tetapi orang yang berkinerja tinggi, namun kecewa.

Jika karyawan yang berdedikasi mulai menunjukkan sikap tidak antusias, maka ini patut diperhatikan. Penurunan produktivitas atau antusiasme yang tiba-tiba, dapat menjadi tanda bahaya bahwa masalah sedang terjadi.

Ketika karyawan yang sebelumnya aktif, tiba-tiba diam dalam rapat, dan kontributor utama tiba-tiba tidak dapat ditemukan, maka manajer harus menggali akar masalahnya.

Perilaku ini mungkin tidak menunjukkan sinyal quiet quitting, karena karyawan tersebut mungkin hanya perlu istirahat untuk memulihkan tenaga, atau mungkin menghadapi kesulitan pribadi. Terlepas dari itu, penting untuk menyadari keadaan karyawan dan mengawasi anggota tim yang bertindak di luar karakter.

2. Cara Mencegah Quiet Quitting dari Dalam Diri Karyawan

Alih-alih melakukan quiet quitting, jika sedang merasa frustasi terhadap beban kerja, serta kompensasi yang kurang, sebaiknya karyawan tetap berusaha bertanggung jawab dan bekerja dengan baik. Namun, apabila kondisi semakin buruk, maka terdapat cara sehat daripada menerapkan quiet quitting.

  • Bekerja Secara Efisien dan Efektif

Jika merasa jenuh dan ingin sekali melakukan quiet quitting, maka solusi baik yang dapat diterapkan adalah bekerja secara efisien. Maksimalkan waktu dengan bekerja seefektif dan sefisien mungkin sehingga karyawan tetap memiliki waktu tersisa untuk mengistirahatkan diri.

Dengan cara ini, karyawan pun bekerja secara optimal dan kejenuhan dapat berkurang. Selain itu, waktu untuk diri sendiri pun lebih banyak.

  • Lakukan Olahraga dan Meditasi

Melakukan relaksasi dan olahraga rutin dapat membantu mengurangi stress. Meditasi juga membantu pikiran agar lebih fokus, sehingga lebih tenang dalam menerima kondisi tertentu.

  • Ciptakan Rasa Kepemilikan dan Hubungan yang Baik

Perasaan awal munculnya quiet quitting, adalah tidak dihargai oleh orang lain dan terlalu banyak bekerja. Kondisi seperti itu tentu saja tidak diinginkan. Namun, jika karyawan melakukan quiet quitting, maka ia pun tidak akan mendapatkan penghargaan dari pihak lain.

Ketimbang melaksanakan quiet quitting, karyawan dapat menciptakan rasa memiliki dengan kantor dan pekerjaan. Caranya, dengan membangun hubungan baik dengan seluruh aspek pekerjaan, sembari mencari tahu alasan burn out sebenarnya.

  • Bicarakan dengan Atasan

Jika karyawan telah melakukan beberapa solusi di atas, tapi masih merasa jenuh dan terus menerus merasa kelelahan, mungkin ada baiknya membicarakan faktor quiet quitting dengan atasan. Dengan membicarakannya, karyawan mampu mengutarakan kondisi dan atasan memahami persoalan, sehingga keduanya pun dapat menemukan solusi.

Orang lain termasuk atasan tidak akan tahu permasalahan karyawan jika karyawan tidak membicarakannya. Oleh karena itu, ada baiknya menemukan solusi bersama. Pekerjaan pun dapat terlaksana dengan mudah dan semangat pekerja pun terjaga dengan baik.

  • Mengambil Cuti

Jika setelah berkomunikasi, pastinya akan muncul solusi dan titik temu. Namun jika tidak, mungkin ada baiknya mengambil waktu istirahat terlebih dahulu untuk menenangkan diri.

Tidak ada salahnya untuk mengambil waktu dan menyelami diri sendiri. Memahami diri sendiri juga penting agar benar-benar mengerti apa yang dibutuhkan oleh diri sendiri.

Editor: Agung

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...