Profil 3 Hakim MK yang Beri Dissenting Opinion dalam Sidang PHPU 2024

Image title
24 April 2024, 08:00
MK
Katadata
Para hakim di sidang sengketa Pilpres di MK

Tak hanya menjadi seorang dosen, ia juga terlibat aktif dalam organisasi yang berkaitan dengan ilmu hukum tata negara. Misalnya, Parliament Watch yang ia bentuk bersama-sama dengan Ketua MK periode 2008-2013 Mahfud MD pada 1998 silam. Pembentukan organisasi ini, dilatarbelakangi oleh kebutuhan pengawasan terhadap parlemen sebagai regulator.

Perjalanan karier Enny di dunia hukum semakin panjang dengan keterlibatannya dalam proses penataan regulasi baik di tingkat daerah hingga nasional. Ia juga kerap diminta menjadi narasumber hingga menjadi staf ahli yang berkaitan dengan hukum tata negara.

"Semuanya mengalir begitu saja tanpa ada desain apapun. Saya pun mendalami bidang ilmu hukum perundang-undangan dan konstitusi. Dari sana pula, awal mula yang mengantarkan saya sebagai Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional selama 4 tahun," kata Enny.

Terkait dengan keterpilihannya sebagai hakim konstitusi, ia menyebut tak pernah merencanakannya. Ketika melihat peluang dibukanya posisi hakim konstitusi, ia tertarik untuk mengisi ruang perempuan dalam jajaran hakim konstitusi.

Menurutnya, bergabung dengan MK sebagai hakim konstitusi menjadi kesempatan yang berharga untuk mempraktikkan pengalaman-pengalaman terkait hukum konstitusi dan hukum perundang-undangan. Hal itu menjadi alasannya untuk ikut mendaftar dalam seleksi hakim konstitusi.

Ia tak memungkiri beban berat yang ditanggungnya sebagai hakim konstitusi, yang harus pandai menempatkan diri agar terhindar dari konflik kepentingan.

Untuk mempersiapkan diri, Enny mempelajari dengan seksama The Bangalore Principles of Judicial Conduct, yang berisi enam prinsip yang menjadi pegangan bagi para hakim. Prinsip-prinsip tersebut, adalah independensi, ketidakberpihakan, integritas, kepantasan dan kesopanan, kesetaraan, serta kecakapan dan kesaksamaan.

Terkait visi dan misinya sebagai hakim konstitusi, Enny menyebutkan, bahwa seorang hakim konstitusi harus memiliki visi dan misi yang sama dengan institusinya, dalam hal ini MK.

"Seorang hakim konstitusi harus mampu mengawal tegaknya konstitusi melalui peradilan konstitusi yang independen, imparsial, dan adil. Selain itu, hakim konstitusi harus menjaga kewibawaan peradilan konstitusi," ujarnya.

3. Arief Hidayat

SIDANG UJI MATERI UU PEMILU
Hakim MK Arief Hidayat dalam sidang uji materi UU Pemilu (ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/foc)

Arief Hidayat bukanlah sosok baru di MK. Pria kelahiran Semarang, 3 Februari 1956 ini pernah dua kali menjabat sebagai Ketua MK, yakni pada periode 14 Januari 2015-14 Juli 2017, dan 14 Juli 2017-1 April 2018.

Arief pertama kali dilantik sebagai hakim konstitusi pada 1 April 2013 untuk masa bakti hingga 2018. Ia kemudian terpilih kembali untuk masa jabatan 1 April 2018-27 Maret 2026.

Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Diponegoro tersebut, mengungkapkan bahwa dirinya tak pernah terpikir untuk menempati posisi sebagai hakim konstitusi. Sebab, sejak kecil ia hanya memiliki satu cita-cita, yakni menjadi seorang guru.

Terkait dengan pilihannya untuk menekuni Ilmu Hukum, Arief menyebutkan, sejak menempuh pendidikan di SMA, ia memang tertarik pada pelajaran ilmu pengetahuan sosial.

Arief tercatat lulus pendidikan strata satu di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (FH Undip) pada 1980, dan kemudian menjadi dosen. Tak berhenti di tingkat S1, ia melanjutkan pendidikan ke jenjang pasca sarjana, di Universitas Airlangga, yang diselesaikannya pada 1984. Lalu, gelar doktor ia rampungkan di Universitas Diponegoro pada 2006.

Selain aktif mengajar, ia juga aktif di beberapa organisasi profesi dan berhasil menempati posisi sebagai ketua. Beberapa organisasi yang pernah ia pimpin, antara lain Ketua Asosiasi Pengajar HTN-HAN Jawa Tengah, Ketua Pusat Studi Hukum Demokrasi dan Konstitusi, Ketua Asosiasi Pengajar dan Peminat Hukum Berperspektif Gender Indonesia, serta Ketua Pusat Studi Hukum Lingkungan.

Ia juga kerap terlibat dalam berbagai kegiatan yang dilakukan oleh MK, dengan menjadi narasumber maupun menjadi juri dalam setiap kegiatan MK berkaitan dengan menyebarluaskan mengenai kesadaran berkonstitusi.

"Saya membantu Sekretariat Jenderal MK merumuskan kegiatan yang berkaitan dengan jaringan fakultas hukum di setiap perguruan tinggi di Indonesia. Sehingga di situ, saya semacam kepala suku yang menggunakan pendekatan yuridis romantis kepada kelompok yang sebagian besar merupakan guru besar Ilmu Hukum Tata Negara di berbagai fakultas hukum di Indonesia. Saya sampai disebut sebagai pakar yuridis romantis," ujarnya.

Arief kemudian dikukuhkan sebagau Guru Besar pada 2008, dan menjadi dekan di FH Undip. Setelah selesai menjabat dekan, ia memberanikan diri mendaftar sebagai hakim MK melalui jalur seleksi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Saat mengikuti uji kelayakan dan kepatutan atau fit and proper test di Komisi III DPR, Arief mengusung makalah bertajuk 'Prinsip Ultra Petita dalam Putusan MK terkait Pengujian UU terhadap UUD 1945'.

Dinilai konsisten dengan paparan yang telah disampaikan dalam proses fit and proper test tersebut, ia pun terpilih menjadi hakim konstitusi, dengan mendapat dukungan 42 suara dari 48 anggota Komisi III DPR.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...