Sejarah PPh Indonesia, dari Reformasi 1998 hingga Kemunculan UU HPP

Image title
6 April 2022, 16:00
Ilustrasi, Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Ketentuan mengenai Pajak Penghasilan (PPh) terus mengalami perkembangan pasca-reformasi 1998, dengan aturan terbaru masuk dalam Undang-undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Arief Kamaludin | KATADATA
Ilustrasi, Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Ketentuan mengenai Pajak Penghasilan (PPh) terus mengalami perkembangan pasca-reformasi 1998, dengan aturan terbaru masuk dalam Undang-undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Arah dan tujuan penyempurnaan UU PPh melalui UU 36/2008 antara lain:

  • Meningkatkan keadilan pengenaan pajak.
  • Memberikan kemudahan kepada wajib pajak.
  • Memberikan kesederhanaan administrasi perpajakan.
  • Memberikan kepastian hukum, konsistensi, dan transparansi.
  • Menunjang kebijakan pemerintah dalam rangka meningkatkan daya saing dalam menarik investasi langsung di Indonesia.

Kemunculan UU 36/2008 bisa dikatakan sebagai reformasi terbesar setelah UU PPh dikeluarkan 1983 silam. Terdapat dua puluh enam pasal yang diubah, penambahan tiga pasal dan satu pasal dihapus. Hampir semua pasal mengalami perubahan.

Selain itu, sistem administrasi pajak lebih disederhanakan dan diberikan banyak kemudahan dalam tata cara pembayaran pajak. Hal ini bertujuan untuk makin banyak menjaring jumlah wajib pajak.

Pemerintah juga memberlakukan sunset policy, yaitu dengan penghapusan denda bagi wajib pajak yang selama ini menunggak atau bahkan tidak membayar pajak. Kebijakan ini dikeluarkan sebagai salah satu upaya menjaring lebih banyak wajib pajak.

Kemudian, untuk bidang-bidang usaha tertentu juga diberikan fasilitas atau keringanan pajak. Ini bertujuan untuk menunjang perkembangan industri nasional, yang pada akhirnya diharapkan juga akan berdampak pada perekonomian nasional.

PPh dalam UU Harmonisasi Perpajakan

Pada era kepemimpinan Presiden Joko Widodo, pemerintah melalui Kementerian Keuangan kembali melakukan perubahan atas ketentuan perpajakan. Pada 7 Oktober 2021, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah sepakat mengesahkan Rancangan Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP).

Perubahan ketentuan perpajakan terbaru ini secara resmi berlaku dengan dikeluarkannya UU Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau UU HPP, yang diundangkan pada 29 Oktober 2021. Di dalam perubahan atas ketentuan perpajakan dalam UU HPP tersebut, juga tercantum perubahan terkait PPh.

Mengutip www.kemenkeu.go.id, melalui UU HPP pemerintah mengubah lapisan penghasilan orang pribadi (bracket) yang dikenai tarif PPh terendah 5%. Dari sebelumnya Rp 50 juta menjadi Rp 60 juta. Sementara, aturan mengenai Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) tidak berubah.

Kenaikan batas lapisan tarif terendah ini memberikan manfaat kepada masyarakat berpenghasilan rendah dan menengah untuk membayar PPh lebih rendah dari sebelumnya. Pemerintah juga mengubah tarif dan menambah lapisan PPh orang pribadi sebesar 35% untuk penghasilan di atas Rp 5 miliar.

Secara terperinci, lapisan PPh yang tertuang dalam UU HPP adalah sebagai berikut:

  • 0-Rp 60 juta dikenakan tarif 5%
  • > Rp 60-250 juta dikenakan tarif 15%
  • > Rp 250-500 juta dikenakan tarif 25%
  • > 500 juta-5 miliar dikenakan tarif 30%
  • > Rp 5 miliar dikenakan tarif 35%

Melalui UU HPP, pemerintah juga menetapkan perhitungan PPh final dengan tarif 0,5% berlaku wajib pajak pengusaha perorangan dengan omset di atas Rp 500 juta. Sementara, wajib pajak pengusaha perorangan dengan omzet di bawah atau baru mencapai Rp 500 juta, tidak dikenakan PPh Final.

Patut diingat, kemudahan berupa PPh Final tidak akan selamanya berlaku. Sebab, masa berlakunya untuk wajib pajak perorangan hanya tujuh tahun dari diterbitkannya PP Nomor 23 tahun 2018. Artinya, pada 2025 PPh yang berlaku kembali pada tarif yang berlaku sesuai Pasal 17 Ayat (1a) UU HPP.

UU HPP HPP juga menetapkan tarif PPh Badan sebesar 22% yang diterapkan mulai 2022 dan seterusnya. Hal ini sejalan dengan tren perpajakan global, yang mulai menaikkan penerimaan dari PPh dengan tetap dapat menjaga iklim investasi. Tarif ini lebih rendah dibandingkan dengan tarif PPh Badan rata-rata negara ASEAN (22,17%), negara-negara OECD (22,81%), negara-negara Amerika (27,16%), dan negara-negara G-20 (24,17%).

UU HPP juga terdapat terobosan baru, yakni mengintegrasikan basis data kependudukan dengan sistem administrasi perpajakan. Pemerintah menilai, penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai pengganti Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) akan semakin memudahkan wajib pajak orang pribadi menjalankan hak dan melaksanakan kewajiban perpajakan.

Namun, penggunaan NIK tidak berarti semua warga negara Indonesia wajib membayar PPh. Pembayaran PPh tetap memperhatikan pemenuhan syarat subjektif dan objektif, yaitu apabila orang pribadi mempunyai penghasilan setahun di atas PTKP atau orang pribadi pengusaha mempunyai peredaran bruto di atas Rp 500 juta setahun.

Selain itu, kemunculan UU HPP juga diikuti dengan aturan-aturan turunan yang menyasar sektor ekonomi digital. Misalnya, ketentuan pajak transaksi keuangan di sektor fintech, diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 69/PMK.03/2022.

Berdasarkan aturan tersebut, pemerintah akan mengenakan pajak penghasilan atas bunga pinjaman dalam penyelenggaraan layanan pinjam meminjam atau peer to peer lending. Penghasilan atas bunga yang diperoleh peminjam dikenakan potongan pajak penghasilan sebesar 15% untuk wajib pajak dalam negeri atau 20% untuk wajib pajak luar negeri.

UU HPP juga diikuti ketentuan perpajakan terkait cryptocurrency atau aset kripto melalui PMK Nomor 68 tahun 2022. Perlakukan PPh atas aset kripto berlaku atas penghasilan yang diterima dari penjualan, penyelenggaraan perdagangan melalui elektronik maupun penambang aset kripto.

Dalam aturan ini, disebutkan bahwa penjualan aset kripto dikenakan PPh pasal 22 final dengan tarif 0,1% dari nilai transaksi kripto, tidak termasuk PPN dan PPnBM. PPh final tersebut dipungut, disetor dan dilaporkan oleh penyelenggaraan perdagangan. Apabila penyelenggara perdagangan bukan pedagang fisik, maka tarif yang dikenakan sebesar 0,2%.

UU HPP merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari rangkaian reformasi perpajakan yang telah dilakukan selama ini, baik reformasi administrasi maupun reformasi kebijakan.

Keberadaan aturan ini juga akan menjadi batu pijakan yang sangat penting bagi proses reformasi perpajakan selanjutnya. Implementasi berbagai ketentuan yang termuat dalam UU HPP, diharapkan akan berperan penting dalam mendukung upaya percepatan pemulihan perekonomian dan mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...