Sejarah Parsel, dari Era Prasejarah, Kerajaan, hingga Era Kolonial
Penjelasan berbeda datang dari sejarawan kuliner Universitas Padjadjaran, Fadly Rahman yang menilai tradisi tersebut berakar dari momen hari raya panen di masa kerajaan abad ke-16. Kala itu, masyarakat mengantarkan hasil buminya setelah panen pada raja.
“Ketika raja mengadakan pesta panen, biasanya akan membekalkan hasil olahan dan berbagai maca makanan serta kue yang akan dibawa pulang oleh rakyat sendiri,” kata Fadly dikutip dari Antara.
Meski kerajaan Nusantara runtuh dan masuk ke masa kolonial, tradisi balas-membalas hantaran Lebaran antarkeluarga tidak redup Biasanya hantaran itu berisi ketupat, opor, kari, rendang, hingga kue basah tradisional yang disajikan dalam rantang. Fadly mengatakan ini adalah kekhasan masyarakat agraris.
Rantang juga dinilai sebagai simbol perekat hubungan kala dipakai untuk hantaran. “Karena secara spontan masyarakat akan membalasnya. Rasanya malu mengembalikan rantang dalam kondisi kosong, sehingga diisi kembali dengan makanan,” jelasnya.
Keluarga Eropa era kolonialisme turut merasakan tradisi ini. Biasanya mereka memperoleh kue kering seperti nastar, kaastangel, lidah kucing, dan putri salju yang dikemasl dalam toples.
Dahulu pemberian hantaran atau parsel ini memang dilakukan secara timbal balik, namun Fadly menilai kini orang sudah biasa mengirim hantaran secara satu arah. Seseorang bisa mengirim parsel untuk menyampaikan rasa terima kasih atau peringatan hari raya tanpa mengharapkan balasan. Ini disebabkan pergeseran makna hantaran yang sudah dikomersialisasi.