42 Tahun Pasar Modal, OJK Harap Makin Banyak Perusahaan Cari Pendanaan
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berharap pasar modal dalam negeri bisa memiliki ruang yang lebih besar bagi pengusaha untuk mencari pendanaan. Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso dalam memperingati 42 tahun pasar modal Indonesia sejak diaktifkan kembali oleh pemerintah pada 10 Agustus 1977.
"Kami mengharapkan, pasar modal dalam negeri mempunyai ruang yang lebih besar bagi pengusaha untuk menjadi media raising fund bagi emiten lama, maupun menarik emiten baru untuk mencari modal," kata Wimboh ketika ditemui di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Senin (12/8).
Menurut Wimboh, pendanaan untuk para pengusaha sangat terbatas jika hanya melalui perbankan, salah satunya karena pendanaan melalui bank didominasi oleh pendanaan jangka pendek. "Perbankan sumber dananya kecil tetapi peminjamnya besar-besar, jangka waktunya juga pendek," kata Wimboh menambahkan.
Berdasarkan data dari OJK, sejak awal tahun ini hingga 9 Agustus 2019, telah terdapat banyak perusahaan yang mencari pendanaan di pasar modal dengan total Rp 109,2 triliun. Jumlah tersebut terdiri dari 29 perusahaan yang melakukan penawaran umum perdana saham atau initial public offering (IPO) Rp 8,5 triliun.
(Baca: Analis Prediksi IHSG Hari ini Bervariasi, Rekomendasi Saham Perbankan )
Kemudian 12 perusahaan melakukan rights issue atau penawaran umum terbatas (PUT) Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMETD) dengan nilai Rp 25,7 triliun. Lalu ada 3 perusahaan yang melakukan Penawaran Umum Efek Bersifat Utang dan Sukuk (PU-EBUS) senilai Rp 2,25 triliun.
Selain itu ada 16 perusahaan yang melakukan Penawaran Umum Berkelanjutan (PUB) EBUS Tahap I dengan nilai Rp 17,02 triliun. Sementara, untuk PUB EBUS Tahap II sudah ada 30 perusahaan dengan nilai Rp 55,75 triliun.
Pasar modal dalam negeri juga menjadi alternatif pembiayaan sektor strategis nasional dengan menyediakan instrumen untuk pembiayaan jangka panjang. Sebut saja Reksa Dana Penyertaan Modal Terbatas (RDPT) Sektor Riil yang dana kelolaannya mencapai Rp 23,59 triliun.
Lalu ada Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragunan Aset (KIK-EBA) dengan dana kelolaan Rp 6,72 triliun, serta EBA Surat Partisipasi (EBA-SP) senilai Rp 3,13 triliun. Ada juga KIK Dana Investasi Infrastruktur (Dinfra) dengan total dana kelolaan Rp 2,65 triliun dan KIK Dana Investasi Real Estate (KIK-DIRE) total dana kelolaan Rp 11,34 triliun.
(Baca: Dikabarkan Akan IPO Jumbo, Produsen Softex Temui Regulator Bursa)
Kinerja IHSG Masih Positif di Tengah Gejolak Global
Secara umum, Wimboh menilai di tengah tingginya ketidakpastian perekonomian global, indeks harga saham gabungan (IHSG) masih mencatatkan kinerja yang positif dengan secara year to date mengalami kenaikan 1,41% dan rata-rata imbal hasil (yield) Surat Berharga Negara (SBN) mengalami penurunan sebesar 69 bps.
"Kondisi ini tentunya ditopang oleh kondisi ekonomi makro yang masih solid," kata Wimboh. Beberapa contoh yang diungkapkannya yaitu pertumbuhan ekonomi dapat dijaga di atas 5%, inflasi terjaga rendah di mana Juli 2019 sebesar 3,32% yoy dan cadangan devisa juga terus meningkat, yakni mencapai US$ 125,9 miliar per Juli 2019 sejalan masuknya dana investor asing.
Namun Wimboh menekankan, semua pihak untuk jangan terlena, karena kondisi perekonomian global diperkirakan belum akan membaik. Menurutnya, tensi trade war (perang dagang) antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok diperkirakan masih akan berlanjut dan bahkan sudah mengarah ke currency war (perang mata uang).
"Kondisi itu mengakibatkan prediksi perlambatan pertumbuhan ekonomi global yang diperkirakan berbagai lembaga internasional menjadi semakin nyata dan memberikan tekanan pada perdagangan internasional," kata Wimboh.