Menkeu Masih Pelajari KAP Pengaudit Laporan Keuangan Garuda Indonesia

Image title
30 April 2019, 17:54
sri mulyani, kementerian keuangan, laporan keuangan 2018 garuda indonesia, komisaris
Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Ilustrasi pesawat Garuda Indonesia. Menteri Keuangan Sri Mulyani belum membuat keputusan apakah kantor akuntan publik yang mengaudit laporan keuangan 2018 PT Garuda Indonesia Tbk bakal diberi sanksi atau tidak.

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah memanggil kantor akuntan publik (KAP) Tanubrata Sutanto Fahmi Bambang & Rekan, yang mengaudit laporan keuangan 2018 PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. Sekretaris Jenderal Kemenkeu Hadiyanto masih menelaah hasil dari pertemuan tersebut.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, belum ada keputusan apakah KAP tersebut bakal diberi sanksi atau tidak. "Saya belum bisa ngomong apa-apa, biar nanti dilihat dulu kasusnya," katanya di Kantor Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta, Selasa (30/4).

Laporan keuangan itu menjadi masalah setelah dua Komisaris Garuda Indonesia, Chairal Tanjung dan Dony Oskaria, menyoroti metode pencatatan akuntansi pada laporan kinerja keuangan perusahaan. Mereka menilai pencatatan akuntansi dalam laporan keuangannya tidak sesuai dengan standar. Karena itu, mereka menolak untuk menandatanganinya.

(Baca: BEI: Garuda Indonesia Perlu Jelaskan Detail Perjanjian dengan Mahata)

Mereka menilai, seharusnya Garuda Indonesia mencatatkan rugi tahun berjalan senilai US$ 244,95 juta atau setara Rp 3,45 triliun (kurs: Rp 14.100 per dolar AS). Namun, di dalam laporan keuangan malah tercatat memiliki laba tahun berjalan senilai US$ 5,01 juta atau setara Rp 70,76 miliar.

Keberatan mereka didasarkan pada perjanjian kerja sama penyediaan layanan konektivitas dalam penerbangan yang ditandatangani oleh anak usaha Garuda Indonesia, yakni PT Citilink Indonesia dengan PT Mahata Aero Teknologi (Mahata). Menurut mereka, komitmen dari Mahaka yang sebesar US$ 239,94 juta tidak dapat diakui sebagai pendapatan dalam tahun buku 2018.

Jumlah tersebut termasuk pendapatan dan piutang Mahata terhadap PT Sriwijaya Air sebesar US$ 28 juta ditambah PPN sebesar US$ 2,8 juta yang merupakan bagian bagi hasil Garuda Indonesia. Seperti diketahui, perjanjian pengadaan wifi antara Mahata dengan Citilink diperluas ke Grup Garuda Indonesia. Sriwijaya saat ini merupakan bagian dari grup tersebut.

Laporan Keuangan Garuda Indonesia Menyesatkan

Berdasarkan dokumen yang didapatkan oleh awak media tertanggal 2 April 2019, sikap kedua komisaris tersebut didasarkan kepada tidak ada pembayaran yang telah dilakukan oleh Mahata meskipun telah terpasang satu unit alat wifi di Citilink. Bahkan dalam perjanjian dengan Mahata, tidak tercantum ketentuan pembayaran atau term of payment karena pada saat itu kedua pihak masih bernegosiasi tentang tata cara pembayaran.

(Baca: BEI Minta Garuda Indonesia Jelaskan Transaksi Pendapatan Tahun Lalu)

Selain itu, menurut Chairal dan Dony, sampai sekarang tidak ada jaminan pembayaran yang tidak dapat ditarik kembali (seperti bank garansi atau instrumen keuangan yang setara) dari pihak Mahata kepada Garuda Indonesia. Padahal, jaminan pembayaran tersebut merupakan instrumen yang menunjukkan kapasitas Mahata sebagai perusahaan yang bankable. Mahata hanya memberikan Surat Pernyataan Komitmen Pembayaran Biaya Kompensasi.

Dalam Perjanjian Mahata juga terdapat pasal pengakhiran yang menyatakan Citilink dapat mengakhiri sewaktu waktu dengan alasan bisnis. Padahal, menurut Penyataan Standar Akutansi Keuangan (PSAK) nomor 23, dapat diterimanya pendapatan harus diukur dengan pendapatan tetap atau jaminan yang tidak dapat dikembalikan dalam suatu kontrak yang tidak dapat dibatalkan.

Menurut mereka, dengan pengakuan pendapatan seperti itu berdampak pada laporan keuangan tahun buku 2018 yang seharusnya membukukan kerugian yang signifikan menjadi laba. Terlebih Garuda Indonesia merupakan perusahaan publik atau terbuka, ada potensi yang sangat besar atas penyajian kembali laporan keuangan tersebut yang dapat merusak kredibilitas perusahaan.

Dampak lainnya, pengakuan pendapatan ini menimbulkan kewajiban perpajakan, baik pajak penghasilan maupun pajak pertmbahan nilai yang belum waktunya. Tentu, menurut kedua komisaris ini, hal ini dapat menimbulkan beban arus kas (cashflow) bagi perusahaan.

(Baca: RUPST Garuda Indonesia Rombak Susunan Pengurus Komisaris dan Direksi)

Reporter: Ihya Ulum Aldin

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...