Transaksi Kripto Merosot Dipicu Tingginya Tarif Pajak
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah memberlakukan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) maupun pajak penghasilan (PPh) sejak 1 Mei 2022. Aturan ini terdapat dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 68 Tahun 2022 yang merupakan turunan dari Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Namun penerapan tersebut justru menyebabkan volume transaksi perdagangan aset kripto merosot dalam tiga tahun berturut. Volume perdagangan tersebut tercatat terpuruk 69,19% mencapai Rp 94,4 triliun per September 2023. Bahkan, nilai transaksi aset kripto sudah terjun hampir 90% jika dibandingkan dengan nilai transaksi pada 2021 yang mencapai Rp 859,4 triliun.
Chief Compliance Officer (CCO) Reku sekaligus Ketua Umum Aspakrindo-ABI Robby mengatakan telah menerima keluhan dari berbagai pengguna karena penerapan pajak sejak tahun lalu. Hal ini telah mendorong investor aset kripto untuk beralih ke platform pertukaran asing. Namun, platform exchange global yang menjadi sasaran investor kripto belum memiliki lisensi di Indonesia.
“Dapat berdampak negatif bukan hanya bagi pelaku usaha, namun juga investor dan ekosistem kripto secara keseluruhan juga,” ucap Robby dalam keterangan resmi, Rabu (8/11).
Menurut Robby, saat ini penerapan pajak di Indonesia terbilang besar dibandingkan dengan negara lainnya. Ia menyebutkan besaran PPN final yang dipungut dan disetor sebesar 1% dari tarif PPN umum atau sebesar 0,11%. Selain itu, ia juga mencatat bahwa PPN untuk aset kripto tidak diberlakukan di banyak negara seperti Malaysia, Singapura, Thailand, Australia, dan Brazil.
Akibat tingginya beban pajak yang harus ditanggung oleh para investor, ia khawatir hal ini dapat menyebabkan aliran modal atau capital outflow yang signifikan keluar dari Indonesia. Lalu transaksi mungkin tidak lagi terjadi di dalam negeri, melainkan di pasar global. Selain itu, masyarakat juga mungkin tidak akan mendapatkan perlindungan hukum yang sama saat mereka bertransaksi di bursa asing.