OJK Bisa Cegah Kasus Investasi Yusuf Mansur & Indosurya Lewat Literasi
Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jawa Keuangan (OJK) akan mulai melaksanakan mandat mereka pada 20 Juli 2022 mendatang. Sejumlah persoalan pada industri keuangan baik perbankan maupun non bank pun sudah mengantre, terutama menyangkut perkembangan pada teknologi digital.
Menurut Associate dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Eko B. Supriyanto, kinerja OJK sudah cukup berhasil untuk sektor pasar modal dan perbankan. Dia menilai berdasarkan indikator tidak adanya bank yang bangkrut atau mengalami penurunan performa keuangan dalam krisis yang terjadi belakangan.
"Pekerjaan ini yang perlu diapresiasi dalam sisi pengawasan perbankan," jelas Eko dalam diskusi bertajuk "Menakar Kinerja OJK di Hutan Rimba Lembaga Keuangan" yang disiarkan melalui Space di Twitter, Minggu (12/6).
Akan tetapi, beda cerita jika melihat kinerja OJK pada Indstri Keuangan Non Bank (IKNB), terutama menyangkut asuransi, investasi, dan pinjaman online.
Terdapat beberapa kasus yang menjadi pusat perhatian publik dari sektor keuangan ini. Untuk asuransi, Eko menyinggung kasus Bumiputera. Kemudian ada kasus investasi Yusuf Mansur, Langit Biru, dan koperasi Indosurya untuk investasi. Sedangkan untuk pinjaman online, jumlahnya masih marak meski trennya terlihat berkurang.
"PR ini yang akan menjadi pekerjaan OJK yang baru," jelas Eko.
"Kami belum bisa menilai ADK yang baru berhasil atau tidak. Tetapi saya baca dari papernya ada harapan," lanjutnya.
Menurutnya, walaupun beragam persoalan tadi terjadi bukan menjadi tanggung jawab OJK, tetapi lembaga ini dapat mencegahnya dengan memberikan literasi keuangan. Sesuatu yang masih sedikit pemahamannya di masyarakat.
Melalui pemahaman terhadap literasi keuangan, masyarakat dapat mencegah mereka terjebak pada iming-iming palsu investasi bodong, atau terjerat bujuk rayu rentenir berkedok pinjaman online.
Sementara jika menunggu penindakan hukum, walaupun pada akhirnya para pelaku penipuan dijerat hukum dan mempertanggung jawabkan perbuatannya secara pidana, tetapi kerugian yang dialami masyarakat tak akan kembali karena pengadilan kerap memutuskan aset hasil investasi yang dimiliki pelaku agar dirampas negara.
"Hartanya disita oleh negara, padahal negara tidak melakukan apa-apa," jelasnya.
Nilai kerugian masyarakat akibat investasi ilegal di Indonesia mencapai Rp117,4 triliun dalam satu dekade terakhir. Puncaknya terjadi pada 2011, dengan kerugian mencapai Rp68,62 triliun.
Jika masyarakat telah memahami literasi keuangan, mereka tentunya akan memeriksa terlebih dulu latar belakang perusahaan, proyeksi investasi, atau sejauhmana legalitas komoditas yang diinvestasikan.
Salah satu contoh yang menarik menurut Eko adalah investasi Yusuf Mansur. Sebab pada 2016 sudah ada keputusan OJK bahwa Yusuf Mansur dilarang mengumpulkan dana investasi dari publik, tetapi akhirnya malah membuat yayasan agar dapat tunduk dengan keputusan OJK.
"Ini perlu reformasi di OJK, titiknya bagaimana meningkatkan literasi secara masif," jelasnya.
Selain itu, memperbaiki struktur Anggota Dewan Komisioner agar dapat bekerja menjadi satu kesatuan. Untuk itu diperlukan perubahan terhadap undang-undang.
Kemudian baru membahas mengenai kemunculan beragam 'tuyul' digital seperti binary option, aset kripto sampai money game. "Kita belum bicara robot, pesugihan online," ungkapnya.
Pada kesempatan ini, peneliti INDEF, Eisha Maghfiruha Rachbini, mengungkapkan bahwa kemajuan teknologi digital seharusnya dapatmembawa dampak positif kepada masyarakat, dengan memberikan beragam kemudahan dan kemajuan perekonomian. Untuk itu, dia sependapat dengan Eko, OJK memang mesti meningkatkan literasi keuangan.
"Masyarakat juga harus tahu kalau punya uang mau diapakan. Ke mana menanamkan investasi yang legal, bukan tuyul?" ungkapnya.
Selain itu, pemerintah juga mesti membuat dasar payung hukum yang baik, agar semakin menguatkan sistem keuangan dan perbankan. Menurut Eisha, semua pemangku kepentingan harus duduk bersama untuk menyelesaikan persoalan ini