OECD: Reformasi Pajak Lebih Tingkatkan Pendapatan RI Dibandingkan Hanya PPN 12%

Rahayu Subekti
10 Desember 2024, 09:39
Pegawai melayani wajib pajak yang akan melakukan pemadanan NIK-NPWP di Kantor Direktorat Jenderal Pajak Wilayah Sumatera Utara I, Medan, Sumut, Senin (18/11/2024).
ANTARA FOTO/Yudi Manar/Spt.
Pegawai melayani wajib pajak yang akan melakukan pemadanan NIK-NPWP di Kantor Direktorat Jenderal Pajak Wilayah Sumatera Utara I, Medan, Sumut, Senin (18/11/2024).
Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

Organization for Economic Co-operation and Development atau OECD mengungkapkan sejumlah pandangan yang berkaitan dengan reformasi perpajakan di Indonesia untuk mendongkrak pendapatan negara. OECD mengungkapkan reformasi pajak secara menyeluruh lebih meningkatkan pendapatan negara ketimbang hanya kebijakan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12%.

Dalam laporan OECD Economic Surveys Indonesia November 2024, disebutkan Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau UU HPP 2021 masih menjadi reformasi pajak paling signifikan. “Undang-undang ini mencakup ketentuan untuk meningkatkan kepatuhan pajak dan meningkatkan rasio pajak, di samping langkah-langkah pemulihan pandemi,” tulis laporan OECD, dikutip Selasa (10/12).

OECD menyoroti ambang batas kewajiban PPN di Indonesia yang mencapai Rp 4,8 miliar. OECD menyebut, ambang batas ini lebih tinggi dibandingkan di sebagian besar negara OECD seperti Thailand dan Filipina yang jumlahnya sekitar US$ 50 ribu.

Lembaga tersebut merekomendasikan Pemerintah Indonesia bisa memperluas basis PPN dengan menghapus sebagian besar pengecualian, terutama untuk barang setengah jadi. Selain itu, pemerintah direkomendasikan mengganti pajak penjualan lokal dengan PPN, menurunkan ambang batas pendaftaran wajib, dan memberikan kompensasi kepada pemerintah daerah atas hilangnya pendapatan pajak penjualan.

"Dalam jangka menengah, pemerintah Indonesia direkomendasikan naikkan tarif PPN,” tulis OECD.

OECD juga menyarankan untuk meningkatkan dan menyelaraskan cukai tembakau di seluruh produk. Menurut OECD, pajak cukai atas rokok juga harus lebih ditingkatkan untuk meningkatkan pendapatan dan meningkatkan kesehatan.

“Karena merokok masih menjadi tantangan kesehatan yang besar di Indonesia dan menimbulkan kerugian ekonomi yang besar,” tulis OECD.

OECD juga menilai batas pajak penghasilan (PPh) pribadi masih tinggi. Tunjangan dasar sebesar Rp 54 juta memiliki porsi sekitar 65% dari PDB per kapita. Sementara tingkat pajak 25% dimulai pada pendapatan di atas Rp 250 juta atau porsinya 300% dari PDB per kapita.

Di sisi lain, pajak penghasilan badan (PPh) badan ditetapkan sebesar 22% di Indonesia yang sejalan dengan rata-rata internasional sekitar 21%. Daripada menaikkan tarif PPh Badan, OECD menilai Indonesia memiliki ruang untuk memperluas basis pajak dengan mereformasi dan mempersempit pajak penghasilan badan usaha kecil rezim pajak.

Hal itu dilakukan dengan menghapuskan insentif pajak atau membuatnya kurang menguntungkan. Indonesia juga harus memastikan bahwa insentif pajaknya tetap sesuai dengan perjanjian pajak minimum global.

“Secara keseluruhan, langkah-langkah reformasi pajak ini dapat meningkatkan pendapatan pajak secara signifikan,” tulis OECD.

Reporter: Rahayu Subekti

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...