Agresif Pangkas GWM, BI Dianggap "Kompromi" dengan Pemerintah

Yura Syahrul
19 Februari 2016, 18:07
gubernur-bi-agus-martowardojo
KATADATA

Sementara itu, menurut Kepala Ekonom ANZ Bank kawasan Asia Selatan, ASEAN dan Pasifik, Glenn Maguire, kebijakan BI menurunkan BI rate sekaligus GWM sebesar 1% itu di luar perkiraan ekonom dan para pelaku pasar. Ia menengarai itu bentuk koordinasi bank sentral dengan pemerintah untuk mendorong perekonomian melalui penyaluran kredit. Namun, bauran kebijakan tersebut diragukan akan mampu mendukung penyaluran kredit. Pasalnya, kebijakan agresif BI untuk memangkas suku bunga itu tidak sesuai dengan kondisi perekonomian domestik dan global yang masih belum kondusif.

Selain itu, keputusan memangkas GWM sebesar 1 persen tidak sejalan dengan penjelasan Gubernur BI setelah RDG yang berpandangan netral terhadap kondisi ekonomi ke depan. Mulai dari perkiraan pertumbuhan ekonomi 5,2-5,6 persen yang didukung oleh stimulus fiskal dari pemerintah hingga stabilitas rupiah. “Satu-satunya petunjuk yang nyata bahwa BI mau melakukan sesuatu dovish (optimistis) secara tiba-tiba adalah perkiraan inflasi, yang diharapkan 3-5 persen tahun ini,” kata Maguire.

(Baca: Pemerintah Tetapkan Bunga Deposito BUMN Mengacu Inflasi)

Keputusan BI memangkas GWM tersebut tidak dapat dilepaskan dari peran pemerintah. Indikasinya adalah rapat di kantor Wakil Presiden Jusuf Kalla yang membahas rencana pemerintah menurunkan bunga deposito di perbankan bersamaan dengan RDG pada Kamis pagi lalu (18/2). Hal itu menunjukkan BI dan pemerintah sedang mencari cara dalam berkoordinasi untuk menyusun kebijakan makro yang saling mendukung. “Koordinasi kebijakan makroekonomi bukan hal yang buruk,” katanya. Persoalannya, stimulus fiskal yang dibuat oleh pemerintah masih sepotong-sepotong, kurang terencana, dan banyak yang belum dilaksanakan.

(Baca: Paksa Perbankan, Jokowi Ingin Bunga Kredit Cuma 4-6 Persen)

Di sisi lain,  Maguire meragukan keampuhan penurunan GWM akan menciptakan efek berantai hingga peningkatan penyaluran kredit. Pasalnya, penurunan BI rate yang jika diikuti oleh penurunan bunga deposito akan menyebabkan tergerusnya dana pihak ketiga (DPK) perbankan. Alhasil, berpotensi menimbulkan pengetatan likuiditas. Apalagi, rasio likuiditas yang tecermin dari rata-rata loan to deposit ratio (LDR) bank telah naik dari 89 persen pada Mei 2015 menjadi 93 persen di November 2015.

Sementara itu, efek penurunan GWM yang menambah likuiditas bank sebesar Rp 34 triliun belum tentu bisa disalurkan menjadi kredit. "Ini tergantung permintaan (demand),” katanya. Ia mengacu kepada target pertumbuhan kredit oleh BI sebesar 14 persen tahun ini atau naik dari target sebelumnya sebesar 12,5 persen. Padahal, saat ini pertumbuhan kredit cuma 10,5 persen.

Halaman:
Reporter: Ameidyo Daud Nasution
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...