Pemerintah Tidak Akan Kenakan Pajak Karbon Pada Knalpot Kendaraan
Pemerintah menegaskan knalpot kendaraan bermotor tidak menjadi objek pajak karbon meskipun ikut menyumbang emisi karbon dioksida (CO2).
Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo membeberkan implementasi pajak karbon knalpot akan sangat sulit. Pasalnya, pajak karbon lebih mungkin dikenakan kepada sektor yang berperan di hulu, bukan di hilir seperti knalpot kendaraan.
"Ada karbondioksida, tapi lebih tepat atas emisi knalpot sudah dikenai Pendapatan Negara Bukan Pajak sejak 2016. Instrumen pungutannya berbeda dan hindari pemajakan berganda," kata dia dalam cuitannya di akun twitterya @prastow, Selasa (16/11).
Ia mengatakan persoalan emisi karbon dari kendaraan bukan berasal dari knalpotnya, melainkan pada pemakaian bahan bakar fosil. Adapun BBM fosil juga jadi perhatian dalam kebijakan pajak karbon. Tetapi pemerintah secara bertahap untuk memberlakukan pajak karbon kepada BBM fosil.
Yustinus juga menilai pemajakan terhadap kendaraan sebenarnya sudah kompolit. Selain PNBP, kendaraan juga dikenakan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) dan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB).
Penjelasan Prastowo itu disampaikan setelah CEO Landscape Indonesia Agus Sari mempertanyakan alasan pemerintah tidak memajaki knalpot kendaraan meski sebenarnya ikut menyumbang emisi karbon. Landscape Indonesia merupakan organisasi lingkungan hidup dengan fokus pada inkubasi wirausahawan lingkungan dan sosial.
"PNBP itu belum memperhitungkan pembakaran BBM sebagai penghasil karbon dioksida penyumbang krisis iklim. Dengan pengetahuan, komitmen, dan kebijakan baru, bisa saja pajak karbon dikenakan, kan?," tulis Agus dalam akun twitter pribadinya @agussari.
Untuk diketahui, aturan pajak karbon masuk dalam Undang-Undang Harmonisasasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang disahkan DPR RI awal bulan lalu. Pemerintah berencana mengimplementasikan pajak karbon mulai April tahun depan secara bertahap. Tahap awal akan diberlakukan bagi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara. Kemudian implementasi akan diperluas untuk sektor lainnya mulai tahun 2025.
Adapun implementasi pajak karbon berlaku dua skema, yakni perdagangan karbon (cap and trade) dan skema pajak karbon (cap and tax). Pada skema perdagangan karbon, entitas yang menghasilkan emisi lebih dari cap atau batas yang ditentukan, maka bisa membeli sertifikat izin emisi (SIE) dari entitas lain yang emisinya di bawah cap. Opsi lainnya, bisa juga dengan membeli sertifikat penurunan emisi (SPE).
Namun jika entitas tersebut tidak dapat membeli SIE atau SPE secara penuh atas kelebihan emisi yang dihasilkan, maka berlaku skema cap and tax. Ini berarti sisa emisi yang melebihi cap tadi akan dikenakan pajak karbon.
Adapun pemerintah menerapkan tarif lebih tinggi atau sama dengan harga di pasaran. Tetapi ditetapkan juga tarif minimum sebesar Rp 30 per Kg CO2 atau Rp 30.000 per ton CO2 ekuivalen.
Aturan pajak karbon ini kemudian dilengkapi dengan rilisnya Peraturan presiden (Perpres) Nomor 98 tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK), yang kemudian awam disebut carbon pricing. Beleid baru ini resmi diluncurkan Jokowi sebelum terbang ke Glasgow, Inggris awal bulan ini untuk acara COP26.
Melalui Perpres ini terdapat lima mekanisme carbo pricing yang diatur. Skema tersebut antara lain, perdagangan antara dua pelaku usaha melalui skema cap and trade, pengimbangan emisi melalui skema carbon off-set, pembayaran berbasis kinerja (result based payment, pungutan atas karbon, serta kombinasi dari skema yang ada.