Kemenkeu Kaji Peluang Kembali Minta BI Beri Jaminan Pembiayaan

Abdul Azis Said
18 April 2022, 13:19
pembiayaan, bank indonesia, kemenkeu, integrated treasury
Arief Kamaludin|KATADATA
Uang rupiah pecahan baru Rp 100.000 di Cash Centre Bank BNI 46, Jakarta, Senin (18/08). Bank Indonesia merilis desain uang pecahan baru Rp 100.000 yang disesuaikan dengan perundangan baru yang berlaku.

Kementerian Keuangan tengah mengkaji peluang untuk kembali meminta Bank Indonesia (BI) menjadi pembeli siaga atau standby buyer untuk Surat Berharga Negara (SBN) dalam kondisi tertentu, di tengah akan berakhirnya skema burden sharing dalam rangka pandemi Covid-19. Inisiatif ini untuk memberi jaminan pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) jika menghadapi situasi yang tidak kondusif.

Adanya inisiatif ini merupakan salah satu aspek dalam kerangka kerja yang tengah dikembangkan Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Kemenkeu saat ini yaitu Integrated Treausry. Kerangka kerja ini bertujuan untuk mewujudkan pengelolaan risiko Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang baik.

Direktur Pengelolaan Kas Negara DJPb Noor Faisal Achmad mengatakan, untuk mewujudkan pengelolaan risiko tersebut, pemerintah berupaya mengembangkan berbagai fasilitas jaminan pembiayaan yang bisa diakses sewaktu-waktu dengan biaya yang efisien. Salah satu inisiatif tersebut, yakni fasilitas jaminan pembiayaan oleh BI dalam kondisi tertentu.

"Pengembangan inisiatif ini masih berupa konsep dan dalam progres tahap kajian internal," kata Noor dalam keterangannya kepada Katadata.co.id, Jumat (15/4).

Jaminan pembiayaan oleh BI direncanakan dapat mendukung pembiayaan jangka pendek maupun jangka panjang.  Jaminan pembiayaan jangka pendek dan panjang dapat dilakukan melalui penerbitan SPN di bawah tiga bulan dan pembelian SBN oleh BI sebagai pembeli siaga atau standby buyer. Namun, pembelian dilakukan hanya dalam kondisi tertentu dengan tujuan memberikan confidence bagi penyediaan pembiayaan, penurunan cash buffer, dan biaya pengadaan utang yang lebih efisien.

"Berbagai aspek tentunya masih perlu dikaji, mulai dari hal yang paling mendasar seperti feasibility study implementasi inisiatif, kriteria dari “kondisi tertentu”, jumlah pembiayaan, dan dampak jangka panjang," kata Noor.

"Aspek-aspek lainnya antara lain ketentuan hukum, politik, dan independensi bank sentral yang membutuhkan koordinasi, kolaborasi, serta dukungan dari berbagai pihak yang terkait," ujarnya.

Namun, Noor tidak menjelaskan apakah rencana kerja sama pembelian SBN ini akan dilakukan pada tahun depan mengingat skema kerja sama yang ada yakni Surat Keputusan Bersama (SKB) I dan SKB III akan berakhir tahun ini. Melalui SKB III, bank sentral bukan hanya membeli SBN tetapi juga dilakukan burden sharing atau berbagi beban, dimana BI ikut menanggung suku bunganya.

Sementara itu, Gubernur BI Perry Warjiyo dalam rapat dengan Komisi XI akhir bulan lalu menegaskan bahwa skema burden sharing pembelian SBN berakhir tahun ini. BI sudah ikut membantu pembiayaan APBN selama tiga tahun terakhir dengan memborong SBN di pasar perdana.

Selama periode 2020-2021, nilai pembelian SBN oleh BI dalam rangka SKB I, II dan III sudah mencapai Rp 831,74 triliun. Pembelian SBN oleh BI tahun ini sampai dengan Februari sudah sebesar Rp 8,76 triliun dalam rangka SKB I. Sementara itu, untuk SKB III yang nilainya mencapai Rp 224 triliun rencananya akan dilakukan pada paruh kedua tahun ini.

Dana Moneter Internasional (IMF) sebelumnya memperingatkan agar kerja sama pembelian SBN oleh BI di pasar perdana bisa berakhir tahun ini. Dalam laporan terpisah, IMF memperingatkan pembelian melalui pasar perdana akan mengganggu independensi bank sentral di samping juga melemahkan disiplin fiskal.

Reporter: Abdul Azis Said
Editor: Agustiyanti

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...