Dari Sri Lanka Hingga Ghana: Harga BBM Bikin Resah

Aryo Widhy Wicaksono
7 Juli 2022, 20:10
Warga mengisi bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite ke sepeda motornya di SPBU Kuningan, Jakarta, Rabu (30/3/2022).
ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/YU
Warga mengisi bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite ke sepeda motornya di SPBU Kuningan, Jakarta, Rabu (30/3/2022).

Tak hanya di Sri Lanka, Laos juga mengalami kondisi yang mirip. Mengutip laporan Nikkei Asia, harga bensin reguler mereka mencapai USD 1,4 per liter pada 24 Juni lalu, atau sekitar Rp 21 ribu. Harga ini naik lebih dari 40% sejak Rusia menginvasi Ukraina pada akhir Februari.

Kenaikan harga bahan pangan dan kebutuhan sehari-hari pun membuntuti, sehingga membuat perekonomian warganya kian terjepit.

INFLASI JUNI 2022
INFLASI JUNI 2022 (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/rwa.)

Laos telah memulai pembicaraan dengan Rusia untuk mencoba membeli minyak mereka. Media Laos melaporkan bahwa bensin Rusia 70% lebih murah daripada pasokan internasional karena efek sanksi Barat.

Laos yang semua perbatasan wilayanya berupa daratan, mendapatkan pasokan bahan bakarnya sebagian besar dari Cina, Thailand, Vietnam dan negara-negara tetangga lainnya.

Namun negara ini telah kehilangan daya beli karena lonjakan harga komoditas. Laos tidak dapat mengamankan cukup pasokan bensin sebagaimana mereka antisipasi sebelumnya, sehingga mendorong pencarian sumber minyak yang lebih murah.

Krisis serupa juga menghantui Thailand. Bloomberg mencatat harga kebutuhan pokok naik sekitar 7,66% dari tahun sebelumnya, melonjak dari data bulan lalu yang mencapai 7,1%. Angka ini lebih cepat dari rata-rata kenaikan 7,45% yang diprediksi para ekonom dalam survei Bloomberg, dan tertinggi sejak Juli 2008.

Sementara Perusahaan Pialang Global Nomura Holdings memperkirakan negara maju di Asia seperti Jepang dan Korea Selatan, akan masuk ke jurang resesi dalam 12 bulan ke depan.

Protes di Ekuador dan Ghana

Di Ekuador, The Confederation of Indigenous Nationalities atau Konfederasi Kebangsaan Adat telah memimpin pemogokan massal secara nasional sejak 13 Juni. Tuntutan utama mereka adalah menurunkan harga BBM dan peningkatan anggaran kesehatan serta pendidikan.

Protes ini diwarnai beragam blokade jalan untuk mencegah transportasi makanan, bahan bakar, bahkan ambulans. Akibatnya, terjadi kenaikan harga pangan terutama di kawasan Andes utara, yang merupakan salah satu daerah yang paling terkena dampak pemogokan.

Pemerintah Ekuador dan kelompok Pribumi telah mencapai kesepakatan untuk mengakhiri 18 hari pemogokan pada Kamis (30/6) lalu, seperti dikutip the Guardian.

Kesepakatan tersebut menetapkan bahwa harga bensin akan turun 15 sen menjadi USD 2,40 per galon dan harga solar juga akan turun dalam jumlah yang sama, dari USD 1,90 per galon menjadi USD 1,75.

Kesepakatan itu juga membatasi perluasan wilayah eksplorasi minyak dan melarang aktivitas pertambangan di kawasan lindung, taman nasional, dan sumber air.

Menyitir New York Times, sebelumnya pemerintah Ekuador telah menghabiskan sekitar USD 3 miliar atau setara RP 45 triliun per tahun, untuk menjaga harga bensin USD 2,55 atau Rp 38 ribu per galon. Sedangkan harga solar pada USD 1,90 atau Rp 28,5 ribu per galon. Artinya, satu liter bensin sekitar Rp 8 ribu, dan solar mencapai Rp 6 ribu.

minyak
minyak (Zukiman Mohamad/Pexels)

Beralih ke benua Afrika, setelah pekan lalu ratusan warga turun ke jalan di ibu kota Ghana, Accra, untuk memprotes kondisi ekonomi yang memburuk.

Menyitir Reuters, inflasi mencapai level tertinggi dalam 18 tahun di 27,6% pada Mei. Pertumbuhan melambat menjadi 3,3% pada kuartal pertama, dan nilai mata uang cedi menurun 23,5% terhadap dolar AS sejak awal tahun.

Pemerintah salah satu negara termakmur di kawasan Afrika ini akhirnya memilih mendekati Dana Moneter Internasional (IMF) untuk mencari bantuan dan solusi perbaikan ekonomi.

Pemerintah Ghana menyalahkan kombinasi kekuatan eksternal yang terjadi belakangan telah membawa perekonomian mereka terpuruk, termasuk pandemi COVID-19, krisis Ukraina, dan kemerosotan ekonomi Amerika dan China.

Menteri Keuangan Ken Ofori-Atta mengatakan kepada anggota parlemen bulan lalu bahwa pengeluaran terkait pandemi mencapai 18,19 miliar cedi (USD 2,26 miliar/Rp 33,9 triliun) pada Mei 2022. Negara tersebut menerima USD 1,23 miliar atau sekitar Rp 18,47 triliun dalam pendanaan bantuan COVID-19 dari IMF dan Bank Dunia selama periode itu.

Halaman:
Reporter: Abdul Azis Said, Muhamad Fajar Riyandanu
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...