Alasan Bank Indonesia Belum Tergerak Meninggalkan Era Suku Bunga Murah

Abdul Azis Said
21 Juli 2022, 15:22
bank indonesia, suku bunga, bunga acuan
Arief Kamaludin | Katadata
Ilustrasi. Bank Indonesia telah mempertahankan suku bunga di level 3,5% sejak Februari 2021.

Ia memperkirakan, perekonomian global tumbuh lebih rendah dibandingkan proyeksi sebelumnya dar 3,5% menjadi 2,5%. Risiko stagflasi juga meningkat di banyak negara seiring tekanan inflasi global meningkat akibat lonjakan harga komoditas, gangguan rantai pasokan global, hingga meluasnya kebijakan proteksionisme pada komoditas pangan. 

"Beberapa negara seperti Amerika Serikat telah merespons dengan pengetatan moneter dan kenaikan suku bunga yang lebih agresif sehingga menahan pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan risiko stagflasi," kata Perry. 

Pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah, menurut Perry, terutama akan dialami Amerika Serikat, Eropa, Cina, Jepang, dan India. Potensi perlambatan ini pun  perlu diwaspadai agar tak berdampak ke ekonomi domestik.

Ia melihat pertumbuhan ekonomi pada kuartal kedua masih akan terus berlanjut ditopang oleh peningkatan konsumsi dan investasi. Hal ini terlihat dari sejumlah indikator perekonomian, seperti kepercayaan konsumen, penjualan eceran, PMI manufaktur, serta kinerja ekspor dan impor. 

Meski demikian, menurut Perry, potensi kenaikan inflasi  pada semester kedua yang disebabkan oleh dampak global berpotensi menahan laju pertumbuhan domestik. Ia memperkirakan pertumbuhan ekonomi  tahun ini akan berada di bawah titik tengah proyeksi  Bank Indonesia sebesar 4,5% hingga 5,3%. 

BI juga memperkirakan, inflasi pada tahun ini akan lebih tinggi dari target maksimal sebesar 4%. Namun demikian, menurut Perry, inflasi inti yang menjadi indikator BI dalam menentukan kebijakan suku bunga tetap akan terkendali di bawah 4%. 

Di sisi lain, nilai tukar rupiah yang juga selama ini selalu menjadi pertimbangan BI terkait kebijakan suku bunga terpantau relatif stabil dibandingkan mata uang negara Asia lainnya. Menurut Perry, rupiah memang mengalami kenaikan tekanan akibat ketidakpastian di pasar keuangan global. Namun, kondisi serupa juga dialami mata uang regional. 

Berdssarkan catatan BI,  nilai tukar rupiah hingga  20 Juli 2022 telah terdepresiasi 4,90% dibandingkan dengan level akhir 2021. Depresiasi ini relatif lebih baik dibandingkan dengan depresiasi mata uang sejumlah negara berkembang lainnya, seperti Malaysia 6,41%, India 7,07%, dan Thailand 8,88%.

"BI akan terus memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah sesuai dengan bekerjanya mekanisme pasar dan nilai fundamentalnya untuk mendukung upaya pengendalian inflasi dan stabilitas makroekonomi," kata Perry. 

Halaman:
Editor: Agustiyanti
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...