BI: Potensi Makin Besar Negara Maju Masuk Resesi

Abdul Azis Said
18 November 2022, 14:26
resesi
123RF.com/alphaspirit
Ilustrasi resesi

Bank Indonesia mewaspadai semakin besar potensi negara-negara maju masuk ke jurang resesi dalam periode setahun ke depan. Risiko resesi bukan hanya meningkat di negara maju tetapi juga di beberapa negara berkembang.

"Probabilitas terjadinya resesi di negara-negara utama, atau negara maju semakin besar, lebih besar dari 50%, dan kalau itu sudah semakin besar harus siap-siap terhadap kondisi yang memang tidak biasa-biasa saja," kata Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia Solikin M Juhro dalam sebuah diskusi Flagship Diseminasi Laporan Nusantara, Jumat (18/11).

Dalam paparannya, ia mengutip survei terbaru Bloomberg terkait probabilitas resesi di negara-negara dunia dalam setahun ke depan. Hasilnya, pada Oktober 2022, beberapa negara menunjukkan kenaikan risiko jatuh ke jurang resesi.

Probabilitas resesi di Jerman dalam 12 bulan ke depan menyentuh 90%, naik dari survei bulan sebelumnya yang belum sampai 80%. Kenaikan probabilitas resesi juga terlihat di Swedia dan Inggris. Negara maju lainnya yang punya probabilitas resesi tinggi di atas 50% yakni Amerika Serikat, Italia, Perancis dan Spanyol.

Bukan hanya itu, beberapa negara emerging market yang paling berpeluang jatuh ke jurang resesi yakni Polandia, Rusia, Republik Ceko, Sri Lanka, Kenya, Argentina dan Lebanon.

"Ini mengeskalasi betapa sumber shock dari ekonomi global ini sangat kompleks," kata Solikin.

Bukan hanya risiko resesi, perekonomian global juga menghadapi tantangan inflasi yang tinggi. Kenaikan harga terjadi baik di negara maju maupun emerging market. Inflasi global sampai bulan lalu sudah mendekati 10%, dengan rata-rata inflasi negara emerging market di atas 10% dan negara maju di kisraan 8%.

"Sementara proyeksi inflasi makin tinggi, inilah yang kemudian memunculkan beberapa indikasi adanya stagflasi, ekonominya tumbuh sangat rendah tapi inflasi tinggi," kata Solikin.

Situasi yang rumit tersebut tentu akan memberi dampak ke dalam negeri. Kenaikan inflasi tinggi telah direspon dengan pengetatan moneter di banyak bank sentral lewat kenaikan suku bunga. Langkah ini telah mendorong keluarnya modal asing dari negara berkembang menuju AS. Walhasil terjadi depresiasi di banyak mata uang negara berkembang, termasuk rupiah Indonesia.

Meski demikian, Solikin mengaku situasi ekonomi Indonesia masih bisa tumbuh positif meskipun situasi dunia sulit. Pertumbuhan ekonomi Indonesia selama empat kuartal berturut-turut di kisaran 5%. Kinerja ini didukung oleh permintaan domestik serta investasi yang tumbuh semakin kuat.

"Bagaimana kemudian kita melihat dampaknya ke Indonesia, Kita bersyukur kita memiliki ruang kebijakan yang begitu besar," kata Solikin.

Ruang kebijakan yang luas maksud dia terutama saat pemerintah masih bisa menahan agar inflasi tidak melonjak tinggi. Hal ini dilakukan dengan memberi subsidi untuk BBM hingga listrik dengan anggaran jumbo.

Dengan begitu inflasi tidak naik signifikan dan suku bunga juga tidak perlu dikerek secepat bank sentral negara lain. Kenaikan suku bunga BI juga diklaim tidak seagresif negara lain yang bahkan disebutnya sudah 'hancur-hancuran' karena harus memerangi inflasi tinggi.

Ia menyebut kenaikan suku bunga yang dilakukan BI beberapa bulan terakhir menjadi pilihan terakhir. Pasalnya bank sentral masih mempertimbangkan kondisi pemulihan ekonomi. Meski demikian, berbagai bauran kebijakan bank sentral lainnya tetap diarahkan untuk mendukung pertumbuhan seperti makroprudensial dan sistem pembayaran.

Reporter: Abdul Azis Said
Editor: Yuliawati

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...