Ada Polemik Bansos Jelang Pemilu, Begini Pencapaian Bansos di 2023
Program bantuan sosial atau Bansos menjadi polemik. Masing-masing calon presiden dan calon wakil presiden mendesak pemerintah tidak melakukan politisasi bansos untuk meraup suara Pemilu 2024.
Hal ini seiring dengan majunya putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, memicu kekhawatiran netralitas pemerintah. Termasuk, adanya klaim bahwa sumber dana bansos dari Jokowi.
Selain itu, ada pihak-pihak yang menginginkan agar bansos ditunda hingga Pemilu 2024 selesai. Sebab, politisasi bansos disebut akan menguntungkan salah satu paslon, atau ada kabar pasangan lain tidak akan melanjutkan bansos.
Tahun lalu, calon presiden nomor urut 3 Ganjar Pranowo menyinggung kemungkinan bansos sebagai alat politik menjelang Pemilu 2024. Ganjar beranggapan, dalam situasi tahun politik, saling klaim mengenai sumber bansos bisa saja terjadi.
"Kalau sekarang ada usulan bansos tambahan karena kondisi di masyarakat, ya memang membutuhkan respon pemerintah. Tapi biasanya dalam suasana politik, tahun politik seperti ini, saling klaim itu menjadi paling kuat," kata Ganjar di Boyolali, Jawa Tengah, Sabtu (30/12).
Mantan Gubernur Jawa Tengah itu bahkan menyebut, penyaluran bansos dapat digunakan untuk menyerang lawan politik. Salah satu caranya, dengan melayangkan tudingan bahwa pihak lawan tak akan berpihak pada masyarakat lantaran meminta penundaan pemberian bansos.
Sementara itu, Cawapres nomor urut 1 Muhaimin Iskandar atau Cak Imin meminta agar pemerintah menjelaskan sumber pengadaan bansos dari uang rakyat. Sebab, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mengklaim bansos yang diberikan kepada masyarakat berasal dari Jokowi.
Padahal, menurut dia, bansos tidak bisa diklaim sebagai bantuan pribadi, karena program ini berasal dari uang rakyat yang dititipkan pemerintah dalam bentuk pajak. Sehingga, ia menolak pemberian Bansos demi kepentingan politik dan paslon tertentu.
"Yang saya tolak, apabila pemberian bansos dalam bulan ini dimanfaatkan oleh pasangan calon tertentu atau digunakan untuk kepentingan politik kelompok tertentu. Itu yang yang tidak boleh dilakukan," kata Cak Imin dikutip dari Kompas.com, Jumat (5/1).
Dalam hal ini, baik Ganjar, Cak Imin maupun Gibran akan tetap melanjutkan program bansos pemerintah jika mereka terpilih dalam Pilpres 2024 nanti.
Lalu, Berapa Realisasi Anggaran Bansos di 2023?
Berdasarkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023, pemerintah telah mengeluarkan anggaran Rp 443,4 triliun untuk program perlindungan sosial atau bansos sepanjang 2023.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut, anggaran tersebut lebih rendah dari 2022. Tercatat sepanjang 2022 anggaran bansos mencapai Rp 460,6 triliun, lalu pada 2021 lebih tinggi Rp 468,2 triliun dan pada 2020 sebesar Rp 498 triliun.
"Sebelum Covid-19, belanja bansos hanya Rp 308 triliun. Jadi ini naik lebih dari Rp 140 triliun sendiri pre Covid," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers Realisasi dan Kinerja APBN 2023 di Jakarta, Selasa (2/1).
Pemerintah juga telah menggelontorkan Rp 28,1 triliun untuk penyaluran bantuan PKH yang diberikan kepada 9,9 juta keluarga, bantuan melalui kartu sembako Rp 44,5 triliun, dan penyaluran bantuan langsung tunai (BLT) El Nino untuk 18,6 juta keluarga sebesar Rp 7,5 triliun.
Selain itu, pemerintah menyalurkan bantuan pangan kepada 21,3 juta keluarga sebesar Rp 7,8 triliun dan pemberian BLT Desa sebesar Rp 10,4 triliun untuk 2,9 juta keluarga.
"Masyarakat rentan kita, belum benar-benar pulih atau bahkan mengalami tekanan baru seperti harga beras yang naik. Makanya, kita melakukan beberapa tambahan penebalan Bansos," ujar Sri Mulyani.
Kemudian penyaluran subsidi BBM sebanyak 16,5 juta kiloliter senilai Rp 21,3 triliun. Selanjutnya, subsidi listrik untuk 64,5 terawatt hour sebesar Rp 68,7 triliun. Lalu subsidi bunga kredit usaha rakyat (KUR) kepada 4,6 juta debitur sebesar Rp 40,9 triliun.
Bansos Belum Beri Efek Signifikan ke Rakyat
Ekonom Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Nailul Huda menilai pemberdayaan ekonomi melalui pemberian Bansos hingga saat ini belum memberikan efek yang signifikan.
“Masih banyak masyarakat miskin yang belum keluar dari garis kemiskinan. Pelaku usaha pun masih belum banyak yang naik kelas,” ujar Nailul.
Nailul menilai, sering kali permasalahan dalam penyaluran terjadi. Seorang yang seharusnya dapat, justru tidak dapat bansos atau yang tidak berhak, mendapatkan bansos. Hal tersebut terjadi akibat data yang tidak valid dan tidak menggunakan data tunggal.
“Maka dari itu, yang paling utama adalah data harus diperbaiki. Data Registrasi Sosial Ekonomi BPS harusnya bisa digunakan untuk melihat data orang miskin by name by address,” ujar Nailul.
Senada, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad pun mengatakan bansos belum tepat sasaran. Hal itu membuat penyaluran bansos tidak terlalu efektif dalam mendorong perekonomian.
Menurutnya, pemberian bansos dinilai belum mencukupi untuk mendorong tingkat konsumsi masyarakat. Bansos diberikan secara rata dengan nominal yang sama untuk seluruh penerima bantuan. Seperti BLT El Nino yang diberikan sebesar Rp 200 ribu per bulan.
“Jadi, untuk masyarakat dengan kemiskinan 10% ke bawah harus ditambah. Selama ini masyarakat dengan kemiskinan 10%, 20%, 30% semua sama angkanya jadi kurang efektif,” ujar Tauhid.
Selain itu, pembagian bansos untuk kelompok rumah tangga miskin juga kurang tepat sasaran. Sebab, masyarakat yang rentan sekalipun juga mendapat bantuan yang sama dengan kelompok yang tidak terlalu rentan.
“Dapatnya sedikit, paling tinggi pun nilainya di bawah sejuta kalau bisa semuanya besar jadi bisa mempertahankan daya beli mereka,” ujar Tauhid.
Untuk meningkatkan efektivitas bansos, Tauhid meminta pemerintah membenahi proses pendataan di masing-masing daerah agar tidak terjadi kesalahan dalam memberikan bantuan. Ia berharap pembagian bansos lebih terukur dan melibatkan banyak pihak.
Sementara Ekonom CORE Indonesia, Yusuf Manilet mendesak pemerintah untuk memperkuat koordinasi dengan beberapa pihak agar penyaluran bansos tepat sasaran. Termasuk koordinasi antar kementerian dan lembaga di level pusat.