Beratkan Investor, Bappebti akan Evaluasi Penerapan Pajak Kripto
Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) berencana untuk mengevaluasi penerapan pajak kripto agar para investor hanya menanggung setengah dari total pajak yang dikenakan saat ini sehingga mereka tertarik bertransaksi di pasar kripto Indonesia.
“Memang perlu diadakan evaluasi dan pertimbangan kembali atas pengenaan pajak ini. Harapannya, dari total pajak yang dikenakan saat ini, investor kripto bisa dikenakan setengahnya saja,” kata Kepala Biro Pembinaan dan Pengembangan Perdagangan Berjangka Komoditi Bappebti Tirta Karma Senjaya dikutip dari Antara, Senin (4/3).
Menurutnya, upaya tersebut diperlukan untuk menjaga peluang pertumbuhan pasar kripto domestik yang baru berkembang dalam beberapa tahun terakhir. Mengingat, regulasi pajak yang kini berlaku telah meningkatkan biaya yang harus dikeluarkan oleh investor.
Tirta mendorong pengenaan pajak terhadap sektor kripto perlu dievaluasi dan dipertimbangkan kembali oleh pemangku kepentingan, termasuk Bappebti, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, asosiasi, serta para pelaku pasar, agar pajak yang dikenakan sesuai dengan harapan semua pihak.
Sebab, pajak yang diperoleh dari transaksi kripto telah mampu menambah pundi-pundi pendapatan negara sebesar Rp 259 miliar dan berkontribusi lebih dari 50% terhadap pendapatan industri fintech.
Lebih Memilih Bertransaksi di Luar Negeri
Direktur Eksekutif Asparkrindo Asih Kerniangsih mengatakan, banyaknya pajak yang dikenakan terhadap pelaku pasar kripto di Indonesia membuat mereka memilih untuk bertransaksi di luar negeri.
“Oleh karena itu, perlu ada penyesuaian untuk mencegah hal tersebut, karena dapat berdampak pada daya saing bursa kripto dalam negeri. Terlebih aset kripto akan menjadi salah satu bagian dari sektor keuangan,” katanya.
Sementara itu, CEO Indodax Oscar Darmawan menyebut, terdapat berbagai jenis pajak aset kripto yang diterapkan di Indonesia, termasuk Pajak Penghasilan (PPh) sebesar 0,10%, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 0,11%, serta tambahan 0,02% untuk biaya bursa, deposito, dan kliring.
“Terlebih lagi, jika bertransaksi menggunakan stablecoin seperti USDT, akan dikenakan penggandaan pajak. Banyaknya jenis pajak yang dikenakan, membuat jumlah total pajak yang harus dibayarkan oleh investor menjadi mahal dan berpotensi dapat mematikan industri kripto di Indonesia,” ujarnya.
Demi meningkatkan daya saing pasar kripto dalam negeri, dia meminta pemerintah menghapus pengenaan PPN sehingga aset kripto hanya dikenai PPh.
“Karena dalam waktu dekat, industri kripto dari Bappebti akan dialihkan ke OJK. Artinya kripto akan menjadi bagian dari industri keuangan. Maka dari itu, tidak tepat jika masih dikenakan PPN dan diharapkan pajaknya bisa menjadi 0,1%,” katanya.
Penjelasan Ditjen Pajak Kemenkeu
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemenkeu menyatakan bahwa pemerintah telah mengenakan tarif yang rendah untuk pengenaan pajak kripto. Begitu pula untuk bursa (exchange) kripto yang terdaftar dalam Bappebti.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenkeu Dwi Astuti mengatakan, hal tersebut dilakukan untuk menarik bursa kripto melakukan transaksi di dalam negeri.
Sejak Mei 2022, setiap transaksi kripto di Indonesia dikenakan PPN sebesar 0,11% dari nilai transaksi pada bursa yang terdaftar di Bappebti, ditambah PPh sebesar 0,1%.
“Rendahnya tarif ini dapat menjadi insentif yang menarik bagi exchanger kripto untuk tetap melakukan kegiatan usahanya di Indonesia,” ujar Dwi Astuti kepada Kadatada.co.id, Jumat (1/3).
Sementara pengenaan pajak untuk bursa yang belum terdaftar di Indonesia, dikenakan tarif PPN sebesar 0,22% dan PPh sebesar 0,2%. Hal ini berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 68 Tahun 2022.
Hingga akhir Januari 2024, realisasi pendapatan negara dari pajak kripto mencapai Rp 39,13 miliar. Sebesar Rp 18,2 miliar berasal dari PPh pasal 22, kemudian Rp 20 miliar berasal dari PPN atas transaksi kripto.