Sri Mulyani Bakal Sulit Capai Target Pajak Rp 1.988 T, Ini Alasannya
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati diperkirakan bakal sulit mencapai target penerimaan pajak sebesar Rp 1.988,9 triliun pada tahun ini. Sebab, kinerja pajak tahun ini akan hadapi tantangan mulai dari restitusi hingga kondisi makro ekonomi.
Pengamat pajak sekaligus Kepala Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menuturkan mengungkapkan sejumlah faktor yang membuat target pajak tersebut akan sulit tercapai pada tahun ini.
“Pertama kalau merujuk data Juni 2024, alasan utama dari pelemahan kinerja penerimaan perpajakan adalah adanya peningkatan restitusi,” kata Fajry kepada Katadata.co.id, Senin (15/7).
Dia menjelaskan, pada Mei 2024, peningkatan restitusi PPh badan masih menghantui kinerja penerimaan pajak. Sementara pengaruh restitusi PPN dalam negeri terhadap penerimaan sudah mulai berkurang.
“Hal ini dapat kita lihat dari data penerimaan bruto berbanding neto. Contohnya penerimaan PPN dalam negeri yang secara bruto mengalami peningkatan sebesar 9,1% namun secara neto atau setelah dikurangi restitusi malah terkontraksi 9,1%,” kata Fajry.
Fajry juga menyebut cicilan atau angsuran PPh 25 yang lebih kecil dari tahun sebelumnya menjadi faktor kinerja pajak tertekan. Untuk beberapa sektor tertentu yang bergantung pada harga komoditas, setoran pajak menjadi berkurang karena adanya pelemahan harga komoditas pada tahun 2022 ke 2024.
Kondisi Makro Ekonomi
Alasan kedua terkait kondisi makro ekonomi. Jika melihat rilis data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan sektor industri pengolahan pada kuartal I 2024 hanya 4,13%, sedangkan pada kuartal I 2023 mencapai 4,43%.
“Ini juga berdampak pada penerimaan pajak kita. Padahal, sektor industri pengolahan ini berkontribusi besar pada penerimaan pajak kita,” ucap Fajry.
Begitu pula dengan sektor perdagangan, sektor yang berkontribusi terbesar kedua bagi penerimaan pajak kita. Sektor perdagangan naik 4,58% pada kuartal I 2024 atau tumbuh lebih rendah dari periode yang sama pada 2023 sebesar 4,94%.
“Ini terlihat kinerja penerimaan sektoral sektor pengolahan dan perdagangan yang juga mengalami minus. Untuk sektor pengolahan minus secara neto maupun bruto sedangkan perdagangan minus secara neto,” ujar Fajry.
Dia mengakui tidak banyak opsi bagi pemerintah untuk mendorong kinerja penerimaan sampai akhir tahun. Apalagi, opsi kebijakan sangat terbatas karena adanya risiko politik pasca Pilpres yang makin tinggi.
Disamping itu, masa pemerintahan Jokowi tersisa beberapa bulan lagi sehingga membuat opsi kebijakan tidak mungkin diambil. Padahal, opsi kebijakan yang mampu meningkatkan penerimaan dalam jangka singkat.
“Sedangkan opsi yang ada adalah dengan melakukan intensifikasi dan di lapangan, opsi ini sudah dijalankan oleh otoritas pajak,” ujar Fajry.
Dia menilai, tidak baik jika pemerintah memaksakan untuk mencapai target penerimaan pajak. Jika optimalisasi dilakukan tanpa memandang kondisi para pelaku usaha, sehingga akan berdampak kepada bisnis mereka.
Solusi yang mungkin bisa diambil adalah melakukan revisi target penerimaan APBN pada tengah tahun. “Ini bisa saja dilakukan oleh menteri keuangan yang baru di bawah pemerintahan Prabowo-Gibran,” kata Fajry.
Penerimaan Pajak Tidak Optimal
Sementara Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda memperkirakan kenaikan penerimaan pajak pada tahun ini dibandingkan 2023 yang mencapai Rp 1.869 triliun. Meskipun begitu, penerimaan pajak akan terbatas karena kondisi global dan domestik yang tidak menentu.
Jika mengacu ke pertumbuhan natural pajak, Nailul memprediksi penerimaan pajak bisa tumbuh di angka minimal 5%. “Tapi tampaknya tidak akan optimal dengan kinerja penerimaan saat ini yang jauh dari target,” kata Nailul.
Dari sisi internal, terdapat permasalahan yang cukup kompleks dan menyebabkan pertumbuan penerimaan pajak tidak optimal. Terutama soal bea masuk barang juga mempengaruhi persepsi publik.
“Walaupun berbeda urusan dengan pajak, namun kepercayaan publik terhadap instansi urusan uang dari pemerintah ini merosot,” ujar Nailul.
Untuk mengatasi itu, Nailul meminta pemerintah untuk memberlakukan pajak di bidang-bidang tertentu. Salah satunya di sektor pertambangan, di mana setoran tersebut belum optimal.
"Namun hal tersebut tidak mudah karena sektor pertambangan sendiri merupakan sektor yang diistimewakan oleh pemerintah pada saat ini," kata dia.