Prediksi IMF dan ADB: Ekonomi RI Tumbuh 5%, di Bawah Target Jokowi
Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Pembangunan Asia (ADB) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi sebesar 5% pada 2024. Nilai itu di bawah target pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) sebesar 5,2%.
Dalam laporan World Economic Outlook Juli 2024, IMF juga memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025 tidak berbeda jauh menjadi 5,1%. Proyeksi IMF tersebut tidak berubah dari perkiraannya ada April 2024.
Sedangkan pada laporan Asian Development Outlook pada Juli 2024, ADB memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5% untuk tahun 2024 dan 2025.
Begitu juga untuk negara-negara di kawasan Asia Tenggara lainnya, meski sebagian besar akan tumbuh lebih tinggi pada 2025. Proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dari IMF dan ADB tersebut di bawah perkiraan pemerintahan Jokowi.
Dalam asumsi makro anggaran pendapatan dan belanja negara atau APBN 2024, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,2% dan asumsi makro dalam RAPBN 2025 berkisar 5,1%-5,5%.
IMF juga mempertahankan proyeksi pertumbuhan ekonomi ASEAN 5 yang terdiri dari Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Thailand. Pertumbuhan ekonomi ASEAN 5 tetap berkisar 4,5% pada 2024 dan 4,6% pada 2025.
IMF Prediksi Ekonomi Global Tumbuh 3,2%
Sementara itu, IMF memproyeksikan ekonomi global secara keseluruhan tidak berubah seperti laporan World Economic Outlook April 2024. Pada tahun ini, ekonomi global masih diperkirakan tumbuh 3,2%.
Namun ADB menaikkan sedikit perkiraan pertumbuhan ekonomi pada tahun ini dan 2025 bagi kawasan Asia yang sedang berkembang dan Pasifik menjadi 5,0% dari proyeksi sebelumnya 4,9%. Hal itu seiring peningkatan ekspor regional yang melengkapi permintaan domestik yang masih kuat.
"Sebagian besar Asia dan Pasifik merasakan pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat dibandingkan dengan paruh kedua tahun lalu,” ujar Kepala Ekonom ADB Albert Park dalam pernyataan tertulis, Rabu (17/7).
Albert menilai fundamental kawasan Asia dan Pasifik masih kuat tetapi para pembuat kebijakan tetap perlu memperhatikan sejumlah risiko yang dapat berdampak terhadap proyeksi tersebut.
"Hal itu mulai dari ketidakpastian terkait hasil pemilu di perekonomian besar, sampai keputusan penetapan suku bunga dan ketegangan geopolitik," kata Albert.
Menurut Albert, kondisi tersebut didorong oleh pemulihan pasca pandemi, di mana permintaan pasar domestik dan ekspor kembali meningkat sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi di kawasan ini.
Namun pemerintah harus mewaspadai tekanan harga masih cukup tinggi di sejumlah perekonomian, meski inflasi di kawasan ini secara keseluruhan sudah mulai melambat.