Konsekuensi RI Gabung OECD: Tidak Dapat Bantuan Pembangunan dari Negara Lain

Ringkasan
- "Macan Asia" adalah julukan yang diberikan kepada empat negara Asia Timur yang mencatat pertumbuhan ekonomi pesat dari akhir 1960-an hingga 1990-an, yaitu Korea Selatan, Taiwan, Singapura, dan Hong Kong, dengan Indonesia kemudian bergabung sebagai "Macan Asia Baru" pada awal 1990-an, mencerminkan kemajuan perekonomiannya yang signifikan. Pertumbuhan ini didorong oleh industrialisasi yang berorientasi ekspor, kebijakan pemerintah yang pro-modal, etos kerja yang kuat, stabilitas politik, dan lokasi geografis strategis.
- Krisis keuangan Asia 1997-1998 menjadi titik balik bagi "Macan Asia", menyebabkan devaluasi mata uang yang signifikan, sektor keuangan yang lemah, dan resesi ekonomi yang dalam. Krisis ini memicu kontraksi ekonomi yang signifikan, dengan Indonesia terkena dampak terparah. Kerentanan ekonomi negara-negara ini terhadap guncangan eksternal terungkap, menyoroti bahaya dari praktik ekonomi yang berlebihan bergantung pada pinjaman luar negeri jangka pendek, regulasi keuangan yang lemah, dan perluasan ekonomi yang tidak berkelanjutan.
- Kisah "Macan Asia" menyediakan pelajaran penting tentang pentingnya pembangunan berkelanjutan, diversifikasi ekonomi, investasi dalam pendidikan dan teknologi, serta pentingnya ketahanan keuangan dan regulasi ekonomi yang baik dalam mempertahankan pertumbuhan jangka panjang dan menghindari krisis di masa depan. Krisis keuangan Asia menggarisbawahi perlunya transparansi, akuntabilitas, dan tata kelola yang baik dalam pengelolaan ekonomi untuk memperkuat kepercayaan investor dan mencegah kemerosotan ekonomi di masa mendatang.

International NGO Forum on Indonesian Development atau INFID mengeluarkan studi berjudul Mengkaji Aksesi Indonesia Menuju Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) Dalam Perspektif Masyarakat Sipil.
Dalam studi tersebut, INFID menyarankan agar penerimaan pajak Indonesia perlu digenjot dalam aksesi Indonesia sebagai anggota OECD. Karena ada sejumlah konsekuensi yang ditanggung Indonesia jika resmi jadi anggota OECD.
"Ini bukan semata karena Indonesia perlu sumber keuangan yang lebih banyak untuk mendanai belanja sosial demi peningkatan kesejahteraan, tetapi juga karena menurut kajian Kementerian Luar Negeri pada 2023 ada konsekuensi finansial yang harus ditanggung oleh Indonesia," tulis studi INFID dikutip Katadata.co.id, Selasa (23/7).
Konsekuensi pertama dengan bergabungnya Indonesia ke dalam OECD, Indonesia harus siap untuk tidak lagi menjadi negara penerima bantuan pembangunan. Melainkan, menjadi negara dengan tanggung jawab memberikan bantuan pembangunan.
Konsekuensi kedua yaitu, kontribusi wajib dan kontribusi sukarela bagi anggota, yang dihitung dengan skala perhitungan tertentu dan berdasarkan ukuran ekonomi atau PDB dan jumlah penduduk. Dengan demikian, Indonesia berisiko membayar lebih besar daripada beberapa negara Uni Eropa.
"Dengan ruang fiskal yang sudah cukup sempit, pemerintah Indonesia perlu menaikkan penerimaan pajak juga untuk kepentingan-kepentingan aksesi ini dan tentunya untuk menaikkan derajat Indonesia sebagai negara yang setara dalam klub negara maju seperti OECD," tulis studi INFID.
Rasio Pajak Sekelas Negara Miskin
Indonesia dapat saja bergabung dengan klub negara maju seperti OECD. Hanya saja, dengan rasio pajak Indonesia baru sekelas negara miskin, tentu membutuhkan berbagai upaya keras untuk meningkatkan penerimaan melalui perluasan basis perpajakan, perbaikan administrasi perpajakan, dan penegakan hukum untuk meningkatkan ketaatan pajak.
Selain itu, Indonesia juga perlu membuka kemungkinan pada potensi alternatif pajak lain seperti pajak warisan, pajak kekayaan, serta pengetatan aspek perpajakan dalam aktivitas perdagangan komoditas.
Jika pemerintah Indonesia melakukan berbagai reformasi, maka akan ada penambahan rasio pajak sebesar 1,5% dari reformasi administrasi, dan tambahan 3,5% dari reformasi kebijakan sehingga diharapkan ada potensi kenaikan rasio pajak sampai 5%.
Sayangnya, penerimaan pajak Indonesia walaupun menunjukkan tren meningkat secara nominal namun masih jauh dari potensi yang dimiliki dan yang dapat digali. INFID menunjukkan, data terakhir rasio pajak hanya 10% selama 10 tahun terakhir dan bahkan belum pernah menyentuh ke angka 11%.
OECD pada 2024 mencatat keadaan keuangan publik Indonesia dalam kondisi baik dengan tingkat hutang yang relatif aman. Hanya saja, rasio penerimaan pajak terhadap PDB sedikit di atas 10%.
Meskipun terdapat perbedaan metode perhitungan rasio pajak antara pemerintah Indonesia dan OECD, perhitungan OECD menunjukkan angka yang lebih tinggi. Dengan demikian, bisa dikatakan jika menggunakan metode penghitungan yang sama, rasio pajak Indonesia akan berada di bawah dua digit.
Rasio Pajak RI di Bawah Thailand dan Vietnam
Dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lain, Indonesia berada jauh di bawah Thailand (17,18%), Vietnam (16,21%), dan Singapura (12,96%). Indonesia hanya lebih baik dari Laos (9,46%), Myanmar (5,78%), dan Brunei (1,30%).
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menilai, jika Indonesia mau bergabung dengan OECD maka nantinya akan menjadi anggota dengan rasio pajak paling rendah.
"Jadi negara-negara OECD itu rata-rata rasio pajaknya di atas 30 %. Jadi begitu Indonesia gabung di OECD paling bontot rasio pajaknya," kata Bhima.
Artinya, kata Bhima, pajak masih menjadi persoalan dari sisi kepatuhan wajib pajak yang rendah. Sehingga, Indonesia perlu melakukan perluasan objek pajak baru demi meningkatkan penerimaan negara.