Prabowo Bakal Sulit Kejar Pertumbuhan Ekonomi 8%, Ini Alasannya
Presiden terpilih Prabowo Subianto tampaknya bakal kesulitan untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi hingga 8%. Mimpi tersebut pernah disampaikan Prabowo saat menghadiri Qatar Economic Forum pada Mei 2024.
"Saya sangat percaya diri bahwa kami bisa dengan mudah mencapai (pertumbuhan ekonomi) 8% dan saya yakin untuk melaju lebih jauh," kata Prabowo di Qatar Economic Forum dikutip dari Bloomberg, Rabu (15/5/2024).
Namun keinginan Prabowo untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 8% diperkirakan bakal sulit. Bahkan, International Monetary Fund atau IMF meramalkan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan stagnan di level 5,1% hingga 2029.
Dalam dokumen IMF Country Report No.24/270, IMF klaim proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia akan tetap tinggi dan inflasi terkendali dengan baik pada tahun ini. Proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2024 dari IMF adalah 5,0%.
Sayangnya, pertumbuhan ekonomi hanya akan sedikit meningkat menjadi 5,1% hingga 2029. Itu artinya, pemerintahan Prabowo-Gibran diproyeksikan hanya bisa melanjutkan tren pertumbuhan ekonomi berkisar pada level 5%.
Meskipun begitu, secara keseluruhan IMF menilai kerangka kebijakan fiskal, moneter, dan keuangan Indonesia memberikan landasan bagi stabilitas makro dan manfaat sosial. Sebab, kebijakan-kebijakan pemerintah dinilai berhasil memfasilitasi pemulihan ekonomi dari guncangan global sejak 2020.
"Pertumbuhan Indonesia tetap kuat meskipun ada hambatan eksternal, inflasi rendah dan terkendali dengan baik, sektor keuangan tangguh, serta kebijakan umumnya sudah diambil secara teliti dan diarahkan untuk jadi penyangga," tulis laporan IMF, Senin (12/8).
Terbebani Kenaikan Harga, PPN dan Tapera
Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menilai target pertumbuhan ekonomi 8% menjadi sangat sulit, bahkan mustahil dicapai. Hal itu dilihat dari berbagai sisi, baik geoekonomi dan geopolitik, serta ekonomi domestik.
“Dari global, saya lihat ekonomi negara maju tidak akan cepat pulih seperti ketika tahun 2014 ke bawah,” kata Nailul.
Nailul menjelaskan, ekonomi Cina sudah mengendur ke angka 4%-an dan ekonomi Amerika Serikat juga sangat tidak stabil. Permintaan produk dalam negeri Cina maupun AS juga mengalami penurunan.
“Impact-nya tentu permintaan barang dari Indonesia yang pasti mengalami perlambatan. Permintaan yang berkurang artinya produksi akan semakin turun, PMI melemah, dan berdampak pada maraknya PHK,” kata Nailul.
Dari sisi domestik, Nailul menyebut daya beli masyarakat mengalami tekanan, terutama karena kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN). Bahkan, pemerintah akan menaikkan PPN menjadi 12% pada 2025. Padahal, pada tahun-tahun sebelumnya, tarif PPN masih di angka 10%.
Belum lagi, ada kenaikan harga barang seperti bahan pangan sudah menurunkan daya beli masyarakat. Ditambah, kebijakan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) dan asuransi wajib kendaraan third party liability (TPL) untuk kendaraan yang bisa menyebabkan daya beli masyarakat semakin terpukul.
Jika daya beli masyarakat terpukul, maka akan berdampak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Mengingat, 50% PDB Indonesia ditopang oleh sektor konsumsi masyarakat.
Di tengah daya beli yang menurun, pengeluran pemerintah justru membengkak. terutama untuk program infratruktur yang memberi efek jangka panjang, terbatas, dan tidak langsung ke ekonomi.
“Maka perlu rasionalisasi pertumbuhan ekonomi, angka 8% menurut saya terlalu ambisius mbak untuk dicapai, tembus 6% saja, itu sudah sangat bagus,” kata Nailul.
Perlu Revitalisasi Industri Manufaktur
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai, jika mengacu pada dokumen rencana pembangunan jangka menengah 2020 hingga 2024, maka salah satu kata kunci untuk bisa mencapai pertumbuhan ekonomi 6% atau bahkan lebih tinggi adalah revitalisasi industri manufaktur.
Namun, Yusuf menyayangkan, dalam lima tahun belakangan ini, masalah revitalisasi industri manufaktur belum berjalan secara optimal. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, seperti realisasi investasi tidak sebesar yang diharapkan.
"Sehingga dengan investasi yang tidak sebesar yang ditargetkan, maka kinerja dari industri manufaktur itu sendiri tidak impresif atau tidak sesuai dengan target yang ingin dicapai pemerintah pada awal 2020,” kata Yusuf.
Selain itu, pekerjaan rumah yang akan dihadapi selanjutnya adalah bagaimana pemerintahan baru melihat kembali rencana atau rancangan kebijakan revitalisasi industri manufaktur. Yang kemudian disesuaikan dengan program atau target pemerintahan baru.
Tak hanya itu, upaya peningkatan sumber daya manusia (SDM) juga menjadi tantangan. “SDM ini akan ikut mengisi proses pembangunan, tidak hanya dalam jangka pendek tetapi juga dalam jangka panjang,” ujar Yusuf.
Yusuf kemudian menyarankan adanya insentif untuk menstimulasi daya beli masyarakat dan market domestik. Khususnya, dalam konsumsi dan pengaturan stabilitas indikator makro seperti inflasi.
Perlu Kontribusi Investasi dan Ekspor
Direktur Eksekutif Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti juga menganggap ekonomi Indonesia akan sulit tumbuh hingga 8%. Apalagi, jika pertumbuhan ekonomi masih mengandalkan konsumsi rumah tangga.
“Selama ini, konsumsi rumah tangga sangat dominan, karena berkonstribusi sekitar 53% ke pertumbuhan ekonomi,” kata Esther.
Sementara itu, investasi dan ekspor hanya berkontribusi belasan persen terhadap pertumbuhan ekonomi. Jika pertumbuhan ekonomi ingin tumbuh hingga 8%, maka diperlukan kontribusi lebih selain dari konsumsi rumah tangga.
“Perlu ada kontribusi lainnya dari investasi, ekspor, dan pengeluaran pemerintah yang perlu ditingkatkan,” ujar Esther.
Menurut Esther, semua mesin pertumbuhan ekonomi perlu diaktifkan untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi lagi. Hal itu bukan hanya konsumsi saja namun juga investasi, ekspor, dan belanja pemerintah.