Kemenkeu Gali Potensi Penerimaan Pajak dari Shadow Economy, Apa Itu?
Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu menyoroti potensi pajak baru yang bisa digali dari para pelaku shadow economy. Karena sumber pajak dari shadow economy ini bisa beragam.
Shadow economy merupakan aktivitas ekonomi yang berkontribusi terhadap penghitungan produk nasional bruto dan produk domestik bruto (PDB). Namun penghitungannya belum terdaftar dan tercatat.
Anggito mencontohkan praktik shadow economy ini bisa berkaitan dengan penghasilan dari judi online (judol) dan juga game online. Sebab aktivitas ekonomi ini belum dikenakan pajak penghasilan (PPh).
"Sudah enggak bayar, sudah enggak kena denda, dianggap tidak haram, enggak bayar pajak lagi. Padahal kan dia menang itu. Kalau dia dapat winning itu kan nambah PPh mestinya," kata Anggito dalam acara Rapat Terbuka Senat: Dies Natalis ke-15 & Lustrum III Sekolah Vokasi UGM Tahun 2024, dikutip Selasa (29/10).
Meski begitu, Anggito menggarisbawahi bahwa tidak memungkinkan seseorang melaporkan penghasilannya yang berasal dari judi. Sementara pemain game online hanya memiliki penghasilan jika berhasil memenangkan pertandingan.
"Jadi teman-teman pajak mesti pinter itu, untuk mencari bahwa ini ada tambahan super income yang berasal dari underground economy," ujar Anggito.
Dengan begitu, banyak sekali potensi underground economy yang tidak teregisterasi dan terdeteksi. Bahkan para pelaku ekonomi itu juga tidak membayar pajak.
Untuk itu, Kementerian Keuangan akan mengkaji lebih lanjut terkait shadow economy agar bisa menjadi sumber pendapatan baru. "Nanti yang kayak gitu-gitu kita pikirkan," kata Anggito.
Apa Itu Shadow Economy?
Dikutip dari laman pajakku.com, fenomena shadow economy dihadapi oleh seluruh negara di dunia tak terkecuali Indonesia. Informasi terkait adanya shadow economy sangat sulit diperoleh karena semua pihak yang terlibat tidak ingin teridentifikasi atau bersifat tersembunyi. Oleh karena itu, shadow economy dikenal dengan sebutan praktik penumpang gelap atau underground economy.
Sebuah penelitian dari Schneider dan Buahan 2018 menyebutkan, bahwa praktik shadow economy lepas dari pengawasan otoritas pajak. Akibatnya, pelaku dari shadow economy tidak menjalankan kewajiban perpajakan dan menyebabkan kerugian terhadap penerimaan negara.
Bentuk Shadow Economy
Shadow economy berkaitan era dengan kegiatan-kegiatan ilegal seperti penyelundupan, transaksi obat terlarang hingga jual beli barang curian. Transaksi masuk barang dari luar daerah pabean tanpa melalui pemeriksaan bea cukai juga tergolong praktik shadow economy.
Saat ini, praktik shadow economy menjadi juga sudah menajdi fokus otoritas pajak. Sebab tidak menutup kemungkinan, korupsi yang dilakukan oleh para koruptor juga teridentifikasi shadow economy.
Dampak Negatif Shadow Economy
Dalam penelitian lebih lanjut oleh Razvan Hoinaru, Daniel Buda dkk pada 2020 terkait The Impact of Corruption and Shadow Economy on the Economic and Sustainable Development, terungkap bahwa korupsi dan praktik shadow economy merupakan dua hal yang beriringan. Hal itu membawa dampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan serta merusak tatanan pemerintahan yang demokratis.
Tiga sektor usaha yang menjadi fokus otoritas pajak dan diyakini melakukan aktivitas shadow economy yaitu sektor usaha pertanian dan perikanan dengan rasio pajak sebesar 0,89%. Kemudian sektor transportasi dan pergudangan dengan rasio pajak 5,5%. Begitu juga sektor informasi dan komunikasi dengan rasio pajak 7,3%.
Persentase rasio pajak cukup besar terhadap pengaruh penerimaan pajak. Hal yang dapat dilakukan untuk mengetahui besaran shadow economy melalui pengukuran demi menghindari bias terhadap perhitungan PDB dan meminimalkan potensi kerugian dari sektor pajak akibat dari praktik shadow economy.
Selain berdampak pada penurunan penerimaan negara, shadow economy juga membuat perhitungan PDB menjadi bias dan meningkatkan defisit anggaran yang bisa berimbas terhadap potensi kenaikan tarif pajak.
Nilai Potensi Shadow Economy
Maka tak heran, shadow economy memiliki potensi besar dan kerap terjadi di negara berkembang. Berdasarkan data dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), tingkat shadow economy mencapai 30%-40% dari nilai PDB.
Jika mengacu pada PDB 2020 mencapai Rp 15.434,2 triliun, maka nilai shadow economy di Indonesia mencapai Rp 4.603,5 triliun hingga Rp 6.173,6 triliun. Nilai ini cukup besar dan berdampak terhadap penerimaan negara.