Ekonom Peringatkan Risiko Inflasi Tinggi Akibat Kenaikan PPN 12% dan Cukai

Rahayu Subekti
3 Desember 2024, 17:45
PPN
Katadata
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede (kanan).
Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede memperkirakan inflasi akan meningkat seiring dengan beberapa langkah kebijakan pemerintah, seperti rencana kenaikan cukai pada minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) serta tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% pada 2025.

"Tahun ini inflasi diperkirakan berkisar di bawah 2% namun untuk tahun depan, inflasi diproyeksikan meningkat ke 3,12%," kata Josua dalam acara 2025 Economic Outlook di Jakarta, Selasa (3/12).

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan inflasi bulanan meningkat dari 0,08% pada Oktober 2024 menjadi 0,30% pada November 2024. Sebaliknya, tingkat inflasi tahunan justru turun dari 1,71% menjadi 1,55% pada November 2024. 

Menurut Josua, inflasi tahun depan akan meningkat seiring dengan basis inflasi pada 2024 yang tak terlalu tinggi. Permintaan konsumen yang meningkat juga dapat menyebabkan inflasi yang lebih moderat.

“Meskipun diperkirakan meningkat, inflasi diproyeksikan akan tetap terkendali, mencapai sekitar 3,12% pada akhir tahun 2025, dalam kisaran target Bank Indonesia sebesar 1,5%-3,5%,” ujar Josua.

Menjaga Stabilitas Harga Pangan

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti meminta pemerintah menjaga stabilitas harga pangan menunda kebijakan PPN 12% demi menekan laju inflasi.

Esther menilai tekanan inflasi ini berpotensi membuat pendapatan riil menurun akibat melemahnya kemampuan konsumsi. Hal ini berisiko menekan pertumbuhan ekonomi.

Untuk itu, pemerintah diminta untuk mengambil tiga langkah cepat demi menjaga stabilisasi harga. Pertama, menjaga ketersediaan pangan.

Kedua, memastikan distribusi pangan lancar. Ketiga, menunda penyesuaian tarif PPN yang direncanakan naik menjadi 12% pada 1 Januari 2025.

Senada dengan Esther, Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira juga menilai perlu ada evaluasi kebijakan untuk menjaga tingkat inflasi, termasuk soal PPN 12%.

Selain itu, juga dibutuhkan suntikan stimulus yang bisa memulihkan daya beli masyarakat. Dia berpendapat inflasi tahunan sebesar 1,55% terbilang kecil.

Bila kondisi inflasi yang rendah ini terus berlanjut, dikhawatirkan ekonomi akan mengalami pertumbuhan yang lebih lambat. Bahkan, target pertumbuhan ekonomi 5% pada kuartal IV 2024 terbilang cukup menantang untuk dicapai.

“Jangan sampai inflasi yang rendah berbalik meningkat bukan karena disebabkan kenaikan daya beli masyarakat, tetapi disebabkan kebijakan fiskal yang mendorong harga-harga barang dan jasa yang meningkat signifikan tahun depan. Ini yang harus dijaga pemerintah,” ujarnya.

Sementara Head of Macroecomoc and Financial Market Research Permata Bank, Faisal Rachman meminta pemerintah menunda kenaikan PPN menjadi 12% karena konsumsi masyarakat terguncang dan terjadi penurunan kelas menengah

"Kami mendukung wacana ditunda dulu. Kelas menengah belum kembali ke kondisi secure seperti prapandemi. Kalau sudah pulih bisa bisa dilakukan secara gradual," kata Faisal.

Jumlah Kelas Menengah Turun

BPS mencatat, jumlah kelompok kelas menengah merosot sejak terjadi pandemi Covid-19. Berdasarkan survei sosial ekonomi nasional atau Susenas Maret 2024, jumlah kelas menengah turun dari 57,33 juta orang pada 2019 menjadi 47,85 juta orang pada 2024. 

Pelaksana Tugas Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti menyebut penurunan kelas menengah bukan menjadi rentan miskin. “(Turunnya) ke menuju kelas menengah. Makanya aspiring middle class-nya naik,” kata Amalia di Gedung BPS, Jumat (30/8).

Aspiring middle class adalah kelompok yang sedang dalam perjalanan menuju kelas menengah. Mereka adalah kelompok yang berada di antara kelas rentan miskin dan kelas menengah.

Mengutip data BPS, jumlah kelompok menuju kelas menengah pada 2019 mencapai 128,85 juta orang dengan proporsi 48,20%. Jumlah tersebut melonjak pada 2024 menjadi 137,50 juta orang dengan proporsi 49,22%.

Amalia mengakui penurunan kelas menengah terjadi sejak pandemi. Jumlah kelas menengah pada 2014 mencapai 43,34 juta orang dan naik menjadi 57,33 juta orang pada 2019. Namun menurun menjadi 53,83 juta orang saat pandemi pada 2021 dan terus merosot setiap tahunnya hingga 2024.

Reporter: Rahayu Subekti, Antara

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...