Ekonom Soroti Risiko Fiskal dan Independensi BI dalam Pembelian SBN Perumahan

Ringkasan
- PT Jasa Marga Tbk berkolaborasi dengan tiga perusahaan konstruksi lain membentuk PT Bogor Serpong Infra Selaras untuk mengembangkan jalan tol Bogor-Serpong via Parung, dengan Jasa Marga berinvestasi sebesar Rp 4,39 miliar atau 26% dari modal disetor.
- Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) PT Bogor Serpong Infra Selaras didirikan dengan tujuan menjalankan kegiatan pembangunan, pengoperasian, dan pemeliharaan jalan tol Bogor-Serpong via Parung serta kegiatan usaha lain yang relevan.
- Struktur kepemilikan saham dalam proyek tersebut adalah PT Persada Utama Infra (PUI) sebesar 52%, PT Jasa Marga (Persero) Tbk 26%, PT Adhi Karya (Persero) Tbk 12%, dan PT Hutama Karya Infrastruktur 10%, menandakan kolaborasi strategis antara perusahaan-perusahaan infrastruktur besar.

Kementerian Keuangan berencana menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) perumahan sebagai langkah utama memperluas akses pembiayaan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dan mendukung program pembangunan tiga juta rumah. Bank Indonesia (BI) pun menyatakan kesiapannya untuk membeli SBN tersebut di pasar sekunder.
“Dukungan juga pendanaan dari BI adalah melalui pembelian SBN dari pasar sekunder,” ujar Gubernur BI, Perry Warjiyo, dalam konferensi pers di Gedung Kemenkeu, Kamis (20/2).
Namun, kebijakan ini dinilai berisiko karena kondisi fiskal Indonesia yang kurang sehat. Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin mengkritisi langkah ini dan menyarankan pemerintah untuk lebih berhati-hati.
“Ini kebijakan yang sangat berisiko, apalagi fiskal kita sedang buruk. Sebaiknya pemerintah cooling down dulu. Jika salah perhitungan, perekonomian bisa makin terpuruk,” kata Wijayanto kepada Katadata.co.id, Jumat (21/2).
Ia juga mempertanyakan independensi BI dalam keputusan membeli SBN tersebut. Menurutnya, perlu analisa mendalam terkait program pembangunan tiga juta rumah per tahun, termasuk siapa yang akan membeli, bank yang akan memfasilitasi, dan daya beli masyarakat.
“Ada kecenderungan pemerintah mengabaikan proses teknokrasi yang baik, sekadar untuk mewujudkan narasi besar dalam sekejap,” ujarnya.
Kekhawatiran atas Independensi BI
Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda juga menyoroti keputusan BI membeli SBN perumahan dapat mengganggu independensi, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang (UU).
“Pembelian SBN oleh BI walaupun di pasar sekunder harus didasarkan pada strategi BI dalam kebijakan stabilitas makroprudensial,” ujar Huda.
Menurutnya, jika keputusan tersebut dilakukan demi mendukung program pemerintah, maka tindakan BI bisa dianggap melampaui batas kewenangannya.
“Jika dilakukan di pasar sekunder namun tujuannya sudah ditetapkan di awal, ini yang salah dengan implementasi kebijakan moneter kita,” ujarnya.
Huda juga menyoroti penerbitan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) yang memiliki underlying berupa SBN. Hal ini menunjukkan bahwa bunga SBN dari pemerintah dianggap kurang menarik.
“Pemerintah harus menaikkan lagi bunga pengembalian. Tidak baik untuk kesehatan APBN kita,” ucapnya.
Ambisi Pertumbuhan Ekonomi 8%
Presiden Prabowo Subianto berambisi menargetkan pertumbuhan ekonomi hingga 8% dalam lima tahun ke depan, dengan program pembangunan tiga juta rumah per tahun sebagai salah satu upaya mencapainya.
Utusan Khusus Presiden Bidang Iklim dan Energi, Hashim Djojohadikusumo, optimistis bahwa program ini dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi hingga 2,5% per tahun.
“Jika kami mencapai kondisi stabil, tiga juta unit rumah per tahun bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 2% hingga 2,5% per tahun. Itu sudah lebih dari 8%,” ujar Hashim dalam acara Indonesia Economic Summit di Jakarta, Rabu (19/2).
Ia yakin program yang akan dilakukan dalam 10 tahun ke depan itu tidak hanya mendorong sektor manufaktur tetapi juga meningkatkan kerja sama antara Indonesia dan negara lain.