Ahli Tambang: Larangan Ekspor Batu Bara Berdampak Sistemik dan Masif
Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) menilai kebijakan larangan ekspor batu bara sementara yang dikeluarkan Dirjen Minerba dan didukung kementerian terkait akan berdampak sistemik dan masif.
Ketua Umum Perhapi, Rizal Kasli mengatakan terdapat kerugian langsung yang ditimbulkan akibat kebijakan tersebut. Di antaranya seperti kapal yang sudah terisi penuh oleh muatan batu bara harus dialihkan ke PLN, yang secara kontrak komersial harga batu baranya lebih rendah daripada harga jual ke luar negeri.
Padahal, kualitas batu bara tersebut belum tentu sesuai dengan spesifikasi yang dibutuhkan PLN untuk pembangkit listrik. Sedangkan tidak semua penambang memiliki kontrak bersama PLN, dengan alasan baik kualitas batu bara yang tidak sesuai dengan spesifikasi dan hal lainnya.
"Bisa dibayangkan berapa kerugian yang akan dialami untuk waktu yang lama jika penghentian ini berlanjut dalam waktu yang lama," ujar Rizal kepada Katadata.co.id, Selasa (4/1).
Biaya demurrage bagi kapal yang berasal dari buyer luar negeri, yang akan dibebankan kepada produsen batu bara/penjual/pengirim dengan nilai yang bervariasi mulai dari US$ 20,000-40,000 per hari. Mengingat, harus menunggu kargo untuk dipenuhi dan tidak sesuai dengan laycan kapal yang disepakati dalam kontrak.
Selain itu, kebijakan larangan ekspor ini juga akan menyebabkan banyak sengketa. Kredibilitas Indonesia sebagai pengekspor batu bara pun akan turun yang dapat berpotensi mengurangi minat investasi dan perdagangan kepada Indonesia.
Namun dia menilai Dirjen Minerba tidak akan membuat kebijakan ekstrim, jika pengusaha atau perusahaan pemasok batu bara mempunyai niat baik dan bertanggung jawab, khususnya untuk konsisten menyuplai batu bara sesuai aturan domestic market obligation (DMO).
Para produse batu bara/penjual/pengirim sudah diingatkan berkali-kali terkait kondisi ini, terakhir melalui Kepmen ESDM No.139.K/HK.02/MEM.B/2021. Namun juga tidak diindahkan karena disparitas harga yang sangat besar antara harga domestik dengan harga global.
"Para coal producer/seller/shipper masih lebih mengutamakan penjualan ke luar negeri ketimbang pemenuhan DMO, khususnya untuk kelistrikan umum," katanya.
Meski demikian, ada juga perusahaan yang sudah memenuhi kewajiban DMO, sesuai ketentuan yang berlaku. Sehingga dengan kebijakan baru ini juga turut mengalami kerugian karena penghentian ekspor ini.
Menurut Rizal jika pemerintah membiarkan begitu saja stok batu bara PLN menipis, maka pemadaman listrik untuk pembangkit tak terhindarkan. Kondisi ini berpotensi membuat kerusuhan yang berdampak pada kehidupan masyarakat Indonesia.
"Pemerintah dalam hal ini Kementerian ESDM akan dinilai tidak mampu dalam mengurus tata Kelola pertambangan batubara dan ketahanan energi nasional dan terlihat lemah dalam hal penegakan hukum kepada para coal producer/seller/shipper," katanya.
Pemenuhan DMO per bulan yakni 12-13 juta ton, sementara untuk tujuan ekspor mencapai 39-40 juta ton. Produksi rata-rata per bulan secara nasional 52 juta ton. Simak databoks berikut:
Bagi IUP kecil dan menengah, kebijakan larangan ekspor belum memberikan masalah yang berarti. Pasalnya, masih ada opsi penyimpanan di stockpile dan stock ROM tambang, serta kegiatan pemindahan overburden removal.
Namun tidak demikian dengan PKP2B dan IUPK dengan produksi yang besar, hal ini akan menimbulkan permasalahan signifikan. Karena, dengan produksi batu bara yang sedemikian besar, belum tentu semua bisa ditampung di lokasi stockpile dan stock ROM tambang.
"Kemungkinan terjadinya penghentian kegiatan penambangan bisa terjadi, termasuk pemindahan overburden. Jika ini terjadi maka kerugian langsung dan tidak langsung akan besar," ujarnya.
Hal lainnya adalah terhentinya pemasukan devisa dari komoditas batu bara selama satu bulan ke depan. Kemudian, berkurangnya royalti dan Dana Bagi Hasil (DBH) bagi daerah penghasil.
Selain itu pengalihan kontrak oleh pembeli luar negeri ke Negara lain termasuk pesaing utama kita yaitu Australia, Rusia, Afrika Selatan. Dia pun berharap pelarangan ekspor ini tidak akan terjadi dalam jangka waktu yang lebih lama lagi, mengingat dampak besar yang akan ditimbulkan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani telah menegaskan bahwa dampak dari kebijakan ini terhadap keuangan negara tidak signifikan. Menkeu lebih mengkhawatirkan ancaman pemadaman listrik nasional yang dapat memukul pemulihan ekonomi Indonesia jika ekspor batu bara terus berlanjut.
“Jika kita membiarkan pemadaman listrik terjadi sehingga ekspor (batu bara) dapat terus berlanjut, pemulihan di Indonesia akan terancam. Harus ada pengorbanan. Pemerintah memilih yang berdampak seminimal mungkin terhadap perekonomian,” katanya.