Gazprom Umumkan Kondisi Kahar, Krisis Energi Eropa Berpotensi Memburuk
Negara-negara Uni Eropa berpotensi menghadapi krisis energi yang semakin parah setelah Gazprom, perusahaan gas milik negara Rusia, mengumumkan kondisi kahar pada pengiriman gas ke kawasan tersebut.
Pengumuman kondisi kahar atau force majeure ini dimaksudkan agar Gazprom terbebas dari kewajiban membayar kompensasi atas volume pengiriman gas yang tak sesuai kontrak.
Mengutip laporan Reuters, Selasa (19/7), Gazprom mengatakan kepada konsumennya di Eropa melalui surat tertanggal 14 Juli 2022, bahwa mereka tidak bisa menjamin pengiriman pasokan gas karena keadaan “luar biasa”. Gazprom juga menyatakan bahwa kondisi kahar ini berlaku secara surut mulai 14 Juni.
Pengumuman ini juga bertepatan dengan pemeliharaan tahunan pipa gas Nord Stream 1 selama 10 hari mulai Senin 11 Juli hingga Kamis 21 Juli 2022. Surat Gazprom ini semakin menambah kekhawatiran Eropa bahwa Rusia kemungkinan tidak akan menyalakan kembali aliran gas sebagai balasan sanksi-sanksi atas perang di Ukraina.
Jika itu terjadi, maka krisis energi Eropa akan semakin memburuk dan ekonomi kawasan tersebut akan masuk ke dalam resesi. Saat ini sejumlah negara Eropa sudah berjibaku mencari pengganti pasokan gas Rusia yang berkurang selama beberapa bulan terakhir, untuk menghemat gas.
Kondisi kahar, dikenal sebagai klausul “kuasa Tuhan”, merupakan praktik standar dalam kontrak bisnis yang mendefinisikan keadaan ekstrem yang membebaskan pihak-pihak yang terikat kontrak dari kewajiban hukum mereka.
Deklarasi kondisi kahar tidak berarti bahwa Gazprom akan menghentikan pengiriman, melainkan tidak bertanggung jawab dan tidak harus membayar kompensasi jika gagal memenuhi ketentuan yang diatur dalam kontrak, seperti volume pengiriman gas yang telah disepakati.
Seorang sumber anonim mengatakan bahwa pengumuman kondisi kahar ini terkait pengiriman melalui pipa Nord Stream 1. “Ini terdengar seperti petunjuk pertama bahwa pasokan gas melalui NS1 mungkin tidak akan dilanjutkan setelah pemeliharaan 10 hari berakhir,” kata ekonom energi ABN Amro, Hans van Cleef.
“Tergantung pada ‘keadaan luar biasa’ apa yang ada dalam pikiran Gazprom untuk menyatakan force majeure, dan apakah ini bersifat teknis atau politis. Ini bisa berarti langkah selanjutnya dalam eskalasi perselisihan antara Rusia dan Eropa/Jerman,” tambah van Cleef.
Uniper, importir gas Rusia terbesar di Jerman, termasuk di antara pelanggan yang mengatakan telah menerima surat, dan secara resmi menolak klaim sebagai tidak dapat dibenarkan.
RWE, produsen listrik terbesar Jerman dan importir gas Rusia lainnya, juga mengatakan telah menerima pemberitahuan force majeure. “Harap dipahami bahwa kami tidak dapat mengomentari detailnya atau pendapat hukum kami,” kata perusahaan itu.
Sebagai informasi, pasokan gas Rusia ke Eropa melalui rute-rute pengiriman utama melalui Ukraina dan Belarusia serta melalui pipa Nord Stream 1 telah berkurang selama beberapa bulan terakhir.
Penundaan Pengembalian Turbin dari Kanada
Gazprom memangkas kapasitas Nord Stream 1 menjadi 40% pada 14 Juni, tanggal yang disebut dalam surat sebagai awal force majeure. Gazprom menyebut pemangkasan kapasitas itu karena keterlambatan pengembalian turbin gas dari pemeliharaan di Kanada oleh Siemens Energy.
Namun kementerian ekonomi Jerman membantah klaim tersebut. Kanada mengirim turbin untuk pipa ke Jerman dengan pesawat pada 17 Juli setelah pekerjaan perbaikan selesai, seperti dilaporkan oleh surat kabar Kommersant pada Senin (18/7).
Diperlukan lima hingga tujuh hari lagi bagi turbin untuk mencapai Rusia, kata laporan itu, asalkan tidak ada masalah dengan logistik dan bea cukai. Kementerian ekonomi Jerman mengatakan pada bahwa pihaknya tidak dapat memberikan rincian keberadaan turbin tersebut.
Juru bicara kementerian ekonomi Jerman mengatakan bahwa turbin itu adalah suku cadang pengganti yang dimaksudkan untuk digunakan hanya mulai September, yang berarti ketidakhadirannya tidak dapat menjadi alasan sebenarnya untuk penurunan aliran gas sebelum pemeliharaan.
Uni Eropa sendiri telah menargetkan untuk berhenti menggunakan bahan bakar fosil Rusia pada 2027. Namun mereka ingin pasokan terus berlanjut untuk saat ini sembari mengembangkan sumber energi alternatif yang terbarukan dan ramah lingkungan.
“Rusia terus menggunakan gas alam sebagai senjata politik dan ekonomi,” kata juru bicara Gedung Putih Karine Jean-Pierre, menambahkan bahwa pemerintahan Biden terus bekerja untuk mengurangi ketergantungan Eropa pada bahan bakar fosil Rusia.
“Pemaksaan energi Rusia telah memberikan tekanan pada pasar energi, menaikkan harga bagi konsumen dan mengancam keamanan energi global,” tambahnya.
Bagi Moskow dan Gazprom, aliran energi adalah aliran pendapatan vital karena sanksi Barat atas invasi Rusia ke Ukraina, telah membebani keuangan Rusia.
Menurut Kementerian Keuangan Rusia, negara tersebut menerima 6,4 triliun rubel (US$ 114,29 miliar) dari penjualan minyak dan gas pada paruh pertama tahun ini. Capaian tersebut sudah 67,4% dari target 9,5 triliun rubel untuk keseluruhan tahun 2022 berkat lonjakan harga energi.