Marak Bencana Akibat Perubahan Iklim, Ini Kebijakan Hijau Negara ASEAN
Negara-negara di Asia Tenggara saat ini tengah mengembangkan kebijakan nasional dan regional dalam mengurangi dampak perubahan iklim. Pasalnya, jumlah korban bencana alam terkait dengan perubahan iklim terus bertambah setiap tahunnya.
Tiga negara Asia Tenggara, yakni Filipina, Indonesia, dan Myanmar, termasuk dalam lima negara dengan jumlah pengungsi korban bencana alam yang disebabkan perubahan iklim terbesar di kawasan Asia Timur dan Pasifik. Total, jumlah pengungsi korban bencana alam di tiga Asia Tenggara mencapai 9,6 juta jiwa pada 2019.
Menurut laporan global tentang pengungsi, kawasan Asia Tenggara rentan terhadap risiko angin topan, banjir, gempa bumi, tsunami, dan letusan gunung berapi. Di Indonesia, setidaknya ada 3,1 juta orang pengungsi yang terkena dampak langsung bencana alam seperti hujan dan banjir sejak awal tahun ini.
Termasuk sekitar 2.000 orang pengungsi di Nusa Tenggara Timur yang terdampak badai siklon tropis Seroja. Badai ini juga dilaporkan menyebabkan kerusakan di Timor Leste, dengan sedikitnya 9.000 orang mengungsi dan 42 orang meninggal.
Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati mengatakan, siklon tropis semakin sering terjadi karena perubahan iklim. Dengan 10 kejadian badai tropis dalam rentang waktu 2008 hingga 2017. Sejak itu badai terjadi setiap tahun, bahkan dua kali setahun.
"Seroja adalah topan pertama yang menimbulkan dampak luar biasa dan ini tidak biasa," kata dia seperti dikutip dari Bangkokpost, Selasa (4/5). "Oleh karena itu harus ada evaluasi dan mitigasi lebih lanjut dari kenaikan suhu laut akibat pemanasan global. Jika tidak, siklon ini akan terjadi setiap tahun".
Sementara, Presiden Indonesia Joko Widodo pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Leaders Summit on Climate Change mengatakan bahwa dampak perubahan iklim sangat nyata. Dia pun meminta para pemimpin dunia untuk mengambil tindakan nyata dan memimpin dengan memberi teladan.
Pasalnya Indonesia sangat serius dalam mengendalikan perubahan iklim karena merupakan kepentingan nasional sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dan rumah bagi sebagian besar hutan tropis dunia.
“Melalui berbagai kebijakan, pemberdayaan dan penegakan hukum, laju deforestasi Indonesia saat ini turun ke level terendah dalam 20 tahun terakhir,” ujarnya.
Indonesia juga telah meratifikasi Paris Agreement sebagai upaya untuk meningkatkan kapasitas adaptasi dan ketahanan iklim guna pengurangan emisi GRK dan pembangunan yang lebih hijau.
Sedangkan, negara tetangga seperti Singapura pada Februari lalu meluncurkan rencana pembangunan hijau dan berkelanjutan untuk dekade berikutnya. Meski begitu, Menteri Pembangunan Nasional Desmond Lee mengatakan hal ini bukanlah hal baru bagi Singapura yang rentan terhadap perubahan iklim.
Kerentanan Singapura dialami oleh sebagian besar penduduk yang kegiatan ekonominya dilakukan di sepanjang garis pantai. "Pembangunan berkelanjutan selalu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari Singapura, bahkan sebelum perubahan iklim menjadi keadaan darurat global," kata Lee.
Di antara langkah-langkah yang ditetapkan di bawah lima pilar utama dari rencana hijau adalah mengurangi emisi karbon, meninggalkan mobil untuk transportasi umum, berjalan kaki atau bersepeda untuk bepergian, mengubah industri menjadi lebih berkelanjutan, dan menjaga pantai dari kenaikan permukaan laut.
"Kami menambah 1.000 hektar ruang hijau pada tahun 2035, di atas 7.800 hektar yang telah kami lindungi hari ini," kata Lee.
Sektor bisnis juga mulai menunjukkan lebih banyak komitmennya terhadap pembangunan berkelanjutan, dengan perusahaan seperti Temasek tahun lalu yang mencapai netralitas karbon di kantor pusatnya.
Menteri Senior Negara untuk Keberlanjutan dan Lingkungan Amy Khor mengatakan dana investasi negara sekarang mengejar rencana untuk mencapai portofolio karbon nol bersih pada tahun 2050. Menurut dia, bagaimanapun, bahwa aksi iklim harus merupakan upaya seluruh bangsa yang melibatkan semua pihak.
"Kami ingin memicu gerakan nasional untuk membuat Singapura lebih hijau, mendorong inovasi hijau dan inisiatif dasar, dan mendorong semua individu untuk merangkul gaya hidup yang lebih berkelanjutan," ujarnya.
Sementara, Malaysia berfokus pada pembangunan rendah karbon sebagaimana tercantum dalam Rencana Induk Teknologi Hijau 2030. Sedangkan Brunei juga telah meluncurkan Kebijakan Perubahan Iklim Nasionalnya.
Di tingkat kawasan, ASEAN telah memperkuat kerja sama antar negara anggota dan dengan mitra seperti Uni Eropa (UE), mengingat peluang dan tantangan dapat memiliki efek pengganda di setiap negara dan kawasan.
Untuk mendukung negara-negara ASEAN dalam mengurangi pembalakan liar, UE pada Oktober lalu mengumumkan program tata kelola hutan tiga tahun senilai 5 juta euro yang sejalan dengan Kesepakatan Hijau Eropa.
Program tersebut bertujuan memperkuat pengelolaan hutan yang berkelanjutan dan legal, meningkatkan tata kelola dan mempromosikan perdagangan kayu yang diproduksi secara legal.
"Ekspor kayu legal meningkatkan perdagangan yang adil, pengelolaan hutan yang berkelanjutan dan perlindungan keanekaragaman hayati yang bermanfaat bagi semua orang di Asia Tenggara," kata Igor Driesmans, duta besar UE untuk ASEAN.
Sekitar 15% dari hutan tropis dunia ada di Asia Tenggara, tetapi luasnya terus menyusut dengan cepat karena pembukaan hutan dan konversi lahan yang dipicu oleh urbanisasi yang cepat. Indonesia dan Malaysia juga dua produsen minyak sawit terbesar dunia.
Menurut analisis Dr Gregory Asner dari Departemen Ekologi Global Carnegie Institution, Washington, AS, deforestasi menyumbang 20% emisi gas rumah kaca di dunia.
Menyadari ancaman nyata dari perubahan iklim, Asian Development Bank (ADB) baru-baru ini memberikan bantuan senilai US$ 300 juta atau sekitar Rp 4,3 triliun dari Green Climate Fund (GCF) untuk disalurkan melalui program ASEAN Catalytic Green Finance Facility (ACGF). Dana ini untuk mengejar pemulihan ekonomi berkelanjutan.
Kamboja, Indonesia, Laos dan Filipina akan menjadi prioritas pendanaan GCF untuk proyek investasinya. "Program ACGF dirancang untuk memulai siklus investasi rendah emisi selama beberapa tahun pertama pemulihan Covid-19," kata wakil presiden ADB Ahmed M. Saeed.
Menurutnya program ini akan membantu negara-negara Asia Tenggara merancang paket dan proyek stimulus hijau yang akan menciptakan lapangan kerja ramah iklim. Kemudian meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan membantu dalam mencapai Perjanjian Paris untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.