Marak Bencana Akibat Perubahan Iklim, Ini Kebijakan Hijau Negara ASEAN

Image title
5 Mei 2021, 12:08
perubahan iklim, asean, bencana alam, kebijakan hijau
ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/wsj.

Negara-negara di Asia Tenggara saat ini tengah mengembangkan kebijakan nasional dan regional dalam mengurangi dampak perubahan iklim. Pasalnya, jumlah korban bencana alam terkait dengan perubahan iklim terus bertambah setiap tahunnya.

Tiga negara Asia Tenggara, yakni Filipina, Indonesia, dan Myanmar, termasuk dalam lima negara dengan jumlah pengungsi korban bencana alam yang disebabkan perubahan iklim terbesar di kawasan Asia Timur dan Pasifik. Total, jumlah pengungsi korban bencana alam di tiga Asia Tenggara mencapai 9,6 juta jiwa pada 2019.

Menurut laporan global tentang pengungsi, kawasan Asia Tenggara rentan terhadap risiko angin topan, banjir, gempa bumi, tsunami, dan letusan gunung berapi. Di Indonesia, setidaknya ada 3,1 juta orang pengungsi yang terkena dampak langsung bencana alam seperti hujan dan banjir sejak awal tahun ini.

Termasuk sekitar 2.000 orang pengungsi di Nusa Tenggara Timur yang terdampak badai siklon tropis Seroja. Badai ini juga dilaporkan menyebabkan kerusakan di Timor Leste, dengan sedikitnya 9.000 orang mengungsi dan 42 orang meninggal.

Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati mengatakan, siklon tropis semakin sering terjadi karena perubahan iklim. Dengan 10 kejadian badai tropis dalam rentang waktu 2008 hingga 2017. Sejak itu badai terjadi setiap tahun, bahkan dua kali setahun.

"Seroja adalah topan pertama yang menimbulkan dampak luar biasa dan ini tidak biasa," kata dia seperti dikutip dari Bangkokpost, Selasa (4/5). "Oleh karena itu harus ada evaluasi dan mitigasi lebih lanjut dari kenaikan suhu laut akibat pemanasan global. Jika tidak, siklon ini akan terjadi setiap tahun".

Sementara, Presiden Indonesia Joko Widodo pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Leaders Summit on Climate Change mengatakan bahwa dampak perubahan iklim sangat nyata. Dia pun meminta para pemimpin dunia untuk mengambil tindakan nyata dan memimpin dengan memberi teladan.

Pasalnya Indonesia sangat serius dalam mengendalikan perubahan iklim karena merupakan kepentingan nasional sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dan rumah bagi sebagian besar hutan tropis dunia.

“Melalui berbagai kebijakan, pemberdayaan dan penegakan hukum, laju deforestasi Indonesia saat ini turun ke level terendah dalam 20 tahun terakhir,” ujarnya.

LAJU DEFORESTASI HUTAN DAN LAHAN
LAJU DEFORESTASI HUTAN DAN LAHAN (ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan/hp.)

Indonesia juga telah meratifikasi Paris Agreement sebagai upaya untuk meningkatkan kapasitas adaptasi dan ketahanan iklim guna pengurangan emisi GRK dan pembangunan yang lebih hijau.

Sedangkan, negara tetangga seperti Singapura pada Februari lalu meluncurkan rencana pembangunan hijau dan berkelanjutan untuk dekade berikutnya. Meski begitu, Menteri Pembangunan Nasional Desmond Lee mengatakan hal ini bukanlah hal baru bagi Singapura yang rentan terhadap perubahan iklim.

Kerentanan Singapura dialami oleh sebagian besar penduduk yang kegiatan ekonominya dilakukan di sepanjang garis pantai. "Pembangunan berkelanjutan selalu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari Singapura, bahkan sebelum perubahan iklim menjadi keadaan darurat global," kata Lee.

Di antara langkah-langkah yang ditetapkan di bawah lima pilar utama dari rencana hijau adalah mengurangi emisi karbon, meninggalkan mobil untuk transportasi umum, berjalan kaki atau bersepeda untuk bepergian, mengubah industri menjadi lebih berkelanjutan, dan menjaga pantai dari kenaikan permukaan laut.

"Kami menambah 1.000 hektar ruang hijau pada tahun 2035, di atas 7.800 hektar yang telah kami lindungi hari ini," kata Lee.

Halaman:
Reporter: Verda Nano Setiawan
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...