ESDM Kaji Penerapan Pajak Karbon Perdana dari Sektor Transportasi
Pemerintah hingga kini masih menggodok aturan mengenai nilai ekonomi karbon (NEK) di Indonesia. Salah satu yang bakal diatur regulasi tersebut yakni mengenai pajak karbon. Saat ini pemerintah mengkaji pajak karbon untuk sektor transportasi.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana mengatakan pemerintah saat ini tengah menyusun Peraturan Presiden soal Nilai Ekonomi Karbon. Sektor transportasi menjadi yang pertama dikaji untuk penerapan pajak karbon.
"Nanti itu konsepnya kalau misalkan anda pakai mobil beli bensin dengan bahan bakar fosil. Kalau dibakar ada emisi, nah emisinya itu harus bayar karena mengotori," ujar Dadan dalam wawancara khusus bersama Katadata.co.id, Jumat (25/6).
Pemerintah sendiri belum memutuskan kapan regulasi terkait pajak karbon akan berlaku. Yang pasti, aturan ini merupakan upaya untuk mengurangi risiko terhadap peningkatan emisi gas rumah kaca.
"Ini nanti sama dengan listrik juga. Tapi yang akan pertama dikaji itu pada bahan bakar kendaraan untuk transportasi. Kalau listrik belum," ujarnya.
Berdasarkan laporan Climate Transparency Report 2020 tentang perkembangan upaya pengurangan emisi di negara G20 berdasarkan target Nationally Determined Contribution (NDC), sektor transportasi menyumbang 27% emisi sektor energi.
Berikutnya yaitu aktivitas industri dan sektor kelistrikan, masing-masing sebesar 37%. Adapun kontribusi emisi sektor transportasi meliputi kendaraan berbahan bakar fosil, kendaraan pengangkut berat, dan penerbangan. Simak databoks berikut:
Meski demikian, dalam Perpres nilai ekonomi karbon yang masih disusun ini akan diatur pula mengenai perdagangan karbon. Perdagangan ini merupakan proses transaksi karbon antara pelaku usaha atau kegiatan yang memiliki emisi melebihi batas emisi yang ditentukan.
Sebelumnya, Kementerian ESDM merencanakan uji coba pasar karbon pada sektor ketenagalistrikan. Setidaknya 80 unit pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU masuk dalam pengujian tersebut.
Rinciannya, 19 unit pembangkit berkapasitas lebih dari 400 megawatt (MW). Lalu, 51 unit PLTU berkapasitas 100-400 MW. Terakhir, 10 unit PLTU mulut tambang dengan daya 100-400 MW.
Dengan upaya ini, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Rida Mulyana optimistis emisi karbon dioksida dapat turun. “Khususnya di sektor energi karena mitigasi di pembangkit listrik,” ujarnya beberapa waktu lalu.
Untuk saat ini, uji coba pasar karbon sektor energi hanya dilaksanakan di sub sektor ketenagalistrikan, khususnya PLTU. Penerapannya memakai tiga skema yakni cap, trade, dan offset.
Skema cap adalah pemerintah membatasi emisi gas rumah kaca (GRK). Trade merupakan perdagangan selisih tingkat emisi karbon terhadap cap. Sedangkan offset adalah penggunaan kredit karbon dari kegiatan mitigasi di luar lingkup emission trading system (ETS).
Nilai batas emisi gas rumah kaca ditetapkan pemerintah berdasarkan intensitas emisi karbon rata-rata tertimbang pada 2019. Sedangkan kompensasi yang diberikan berdasarkan selisih tingkat emisi gas rumah kaca terhadap nilai cap.
Unit PLTU yang berada di atas nilai cap disebut mengalami defisit emisi, sehingga mereka harus membeli emisi untuk melakukan offset.
Melalui skema tersebut pemerintah akan melakukan verifikasi dan pengawasan terhadap pembangkit listrik batu bara, sehingga perdagangan karbon bisa digunakan sebagai capaian penurunan emisi Indonesia.
Rida mengatakan 80 pembangkit listrik yang ikut uji coba tersebut terdiri dari 54 unit milik PLN. Sisanya, milik produsen listrik swasta atau IPP.