Sudah Diharmonisasi, DPR Targetkan RUU EBT Rampung Kuartal III 2022
Komisi VII DPR menargetkan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT) rampung pada kuartal ketiga tahun 2022 setelah selesai diharmonisasi oleh Badan Legislasi (Baleg).
Adapun salah satu hasil dari harmonisasi tersebut yaitu memisahkan antara energi baru dengan energi terbarukan sehingga namanya menjadi RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan.
Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Eddy Soeparno, mengatakan progres RUU EBT sudah melalui tahap harmonisasi atau memberi penjelasan kembali kepada Badan Legislasi (Baleg). Setelah itu, apabila sudah dicapai kesepakatan tahap 1, RUU ini akan dibawa ke rapat paripurna untuk diajukan kepada pemerintah.
“Kami berharap dalam dua masa sidang bisa selesai. Kuartal ketiga tahun ini. Nah segera setelah RUU EBT sudah diajukan dan diputuskan oleh paripurna sebagai RUU dari DPR. Setelahnya Komisi VII tinggal menunggu dari pemerintah untuk membahas RUU tersebut,” kata Eddy kepada Katadata.co.id, Senin (21/3).
Eddy pun menyampaikan, salah satu usulan yang disampaikan dalam RUU EBT yakni menaikkan kewajiban penjualan untuk kebutuhan pasar domestik atau domestic market obligation (DMO) batubara menjadi 30%.
Usulan tersebut dinilai sebagai upaya mencegah potensi minimnya stok batu bara di dalam negeri. “Iya, ada usulan itu. Kami akan membuka diri untuk mendiskusikan itu,” sambungnya.
Pemerintah berencana menaikkan DMO batu bara menjadi 30% dari saat ini sebesar 25% dari total rencana produksi. Hal tersebut tertuang dalam draf rancangan undang-undang RUU EBT yang baru saja merampungkan proses harmonisasi oleh Baleg.
Pada pasal 6 ayat 6 draf RUU EBT disebutkan bahwa untuk memastikan ketersediaan energi primer dalam pemanfaatan pembangkit listrik tak terbarukan yang ada, penyediaan batu bara bagi kebutuhan pembangkit listrik dilakukan dengan mekanisme DMO dengan ketentuan minimal 30% dari rencana produksi dan harga paling tinggi US$ 70 per ton dengan acuan batu bara kalori 6.322 kcl per kg.
Melalui harmonisasi RUU EBT ini, Baleg mengusulkan kepada Komisi VII untuk memasukkan besaran DMO maupun patokan harganya ke dalam norma undang-undang. Ketua Baleg DPR RI, Supratman Andi Agtas, mengatakan ada beberapa hal yang memang perlu menjadi catatan bagi Baleg dan sudah terakomodasi (dalam draf RUU EBT).
"Indonesia sebagai negara penghasil batu bara terbesar di dunia kerap kali masih mengalami kelangkaan dalam rangka pemenuhan kebutuhan dalam negeri karena terjadi disparitas harga yang begitu jauh antara harga di dalam negeri dengan harga batu bara acauan internasional,” ujarnya, dikutip Jumat (18/3).
Menanggapi adanya kabar kenaikan DMO, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI), Hendra Sinadia, mengatakan bahwa dia tidak pernah mendengar adanya rekomendasi kenaikan DMO dari 25% menjadi 30-35%.
“Waktu kami Rapat Dengan Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi VI dan komisi VII di akhir Januari, tidak ada rekomendasi seperti itu,” ujarnya kepada Katadata.co.id saat dihubungi pada Kamis (17/3) sore.
Sebelumnya Hendra juga mengatakan bahwa saat ini perusahaan tambang batu bara mengalami dilema dalam pemenuhan DMO imbas tingginya harga batu bara di pasar dunia. Meski begitu ia menyebut pengusaha akan tetap berkomitmen dalam memenuhi kebutuhan batu bara untuk pembangkit listrik PLN.
"Melihat disparitas harga ini pilihan dilematis bagi anggota kami. Namun, sejak awal komit melaksanakan kontrak penjualan batu bara ke PLN, pemerintah juga sudah paham," kata dia. APBI beranggotakan sekitar 70-an perusahaan yang kontribusi pada sekitar 70% produksi nasional.