COP27: Negara Miskin Tuntut Negara Kaya Kompensasi atas Krisis Iklim
Para pemimpin dari negara-negara dunia ketiga memanfaatkan forum COP27 di Mesir untuk menuntut negara barat dan perusahaan minyak untuk membayar dampak krisis iklim yang ditimbulkan dari kegiatan ekonomi mereka.
Negara-negara kepulauan kecil yang kini diterpa badai laut yang semakin ganas dan kenaikan permukaan laut menagih perusahaan minyak untuk mengeluarkan sebagian dari keuntungan besar mereka atau kompensasi. Hal serupa juga diserukan oleh banyak negara berkembang di Afrika yang menuntut lebih banyak dana internasional.
Perdana Menteri Antigua dan Barbuda, Gaston Browne, menyampaikan bahwa perusahaan-perusahaan minyak dan gas harus segera membayar ganti rugi dalam bentuk pajak karbon global sebagai sumber pendanaan kerusakan dan kerugian yang dialami oleh negara-negara miskin.
Sebagai sebuah negara kepulauan yang terletak di Laut Karibia bagian timur, Gaston menyebut sejumlah negara yang tergabung dalam Aliansi Negara-negara pulau kecil sangat dirugikan atas perubahan iklim yang terjadi saat ini.
"Industri minyak dan gas terus menghasilkan keuntungan hampir US$ 3 miliar setiap harinya. Sementara mereka mendapat untung, planet ini terbakar," kata Gaston saat berbicara di podium COP27 atas nama Aliansi Negara-negara Pulau Kecil, dikutip dari Reuters pada Rabu (9/11).
Hal serupa juga dilontarkan oleh Presiden Vanuatu, Nikenike Vurobaravu. Dia berharap Mahkamah Internasional segera bergerak untuk memastikan hak-hak negara dunia ketiga di generasi mendatang tidak dilanggar karena tertinggal dalam adaptasi perubahan iklim.
Komentar tersebut mencerminkan ketegangan dalam negosiasi iklim internasional antara negara-negara kaya dan miskin, ketika para delegasi menghadiri hari kedua konferensi PBB selama dua minggu di kota resor tepi laut Sharm el-Sheikh.
Seruan kritik dari beberapa negara konferensi itu lebih cenderung mengarahkan rasa kekecewaan mereka pada pemerintah kaya atau negara barat, bukan pengebor.
Presiden Senegal, Macky Sall, mengatakan kepada konferensi bahwa negara-negara berkembang yang miskin di Afrika membutuhkan peningkatan dana dari negara-negara kaya untuk adaptasi terhadap memburuknya perubahan iklim.
Macky juga menolak seruan untuk segera beralih dari bahan bakar fosil yang dibutuhkan oleh negara-negara Afrika untuk memperluas jaring ekonomi mereka. "Mari kita perjelas, kami mendukung pengurangan emisi gas rumah kaca. Tapi kami orang Afrika tidak bisa menerima bahwa kepentingan vital kami diabaikan," ujarnya.
Negara-negara barat yang kaya cenderung menjadi pendukung paling vokal dalam pengurangan emisi, namun nyatanya mereka juga menjadi bagian dari pihak yang menyumbang gas rumah kaca paling banyak sejak kemunculan revolusi industri di inggris pada abad lalu.
Keuntungan yang diperoleh dari perusahaan minyak internasional sejak konflik antara Rusia dan Ukraina pada awal tahun lalu juga menyulut amarah pemerintah di seluruh dunia karena telah mengguncang pasar dan mengganggu pasokan energi dunia.
Mereka khawatir perubahan iklim tak terkendali dan memunculkan inflasi konsumen yang merajalela. Presiden Amerika Serikat (AS), Joe Biden, mengatakan para pelaku usaha industri migas meraup keuntungan besar imbas terjadinya perang.
Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy mengatakan kepada delegasi konferensi dalam pesan video bahwa invasi Rusia ke Ukraina telah mengalihkan perhatian pemerintah dunia dari upaya memerangi perubahan iklim dan mendorong permintaan batu bara. "Tidak akan ada kebijakan iklim yang efektif tanpa perdamaian," katanya.
Meski demikian negara-negara pencemar lingkungan terbesar di dunia seperti AS dan India belum hadir di COP27. Biden baru akan datang pada Jumat (11/11), meski delegasi dari AS telah membuka paviliun di lokasi COP27 melalui utusan khusus John Kerry.